Poros runtuh, Sekutu menang (1945)

Tanggal 16 Desember 1944, Jerman mengupayakan kesuksesan terakhirnya di Front Barat dengan mengerahkan sisa-sisa pasukan cadangannya untuk melancarkan serangan balasan massal di Ardennes untuk memecah belah Sekutu Barat, mengepung sebagian besar tentara Sekutu Barat dan menaklukkan pelabuhan suplai utama mereka di Antwerp demi mencapai penyelesaian politik.[221] Pada Januari, serangan ini digagalkan tanpa satu tujuan strategis pun yang tercapai.[221] Di Italia, Sekutu Barat tetap buntu di garis pertahanan Jerman. Pada pertengahan Januari 1945, Soviet menyerbu Polandia, bergerak dari Sungai Vistula ke Sungai Oder di Jerman, dan menduduki Prusia Timur.[222] Tanggal 4 Februari, para pemimpin A.S., Britania Raya, dan Soviet bertemu di Konferensi Yalta. Mereka menyetujui pendudukan di Jerman pascaperang,[223] dan Uni Soviet bergabung dalam perang melawan Jepang.[224]

Pada bulan Februari, Soviet menginvasi Silesia dan Pomerania, sementara Sekutu Barat memasuki Jerman Barat dan mendekati Sungai Rhine. Bulan Maret, Sekutu Barat melintasi Rhine di utara dan selatan Ruhr, mengepung Grup Agkatan Darat Jerman B,[225] sementara Soviet melaju ke Wina. Pada awal April, Sekutu Barat akhirnya berhasil membuat kemajuan di Italia dan bergerak melintasi Jerman Barat, sementara pasukan Soviet menyerbu Berlin pada akhir April; kedua pasukan bertemu di sungai Elbe tanggal 25 April. Tanggal 30 April 1945, Reichstag diduduki dan menandakan kekalahan militer Reich Ketiga.[226]

Sejumlah perubahan kepemimpinan terjadi pada masa ini. Tanggal 12 April, Presiden A.S. Roosevelt meninggal dunia dan digantikan oleh Harry Truman. Benito Mussolini dibunuh oleh partisan Italia tanggal 28 April.[227] Dua hari kemudian, Hitler bunuh diri dan digantikan oleh Laksamana Agung Karl Dönitz.[228]

Pasukan Jerman menyerah di Italia pada tanggal 29 April. Instrumen Penyerahan Diri Jerman ditandatangani tanggal 7 Mei di Reims,[229] dan diratifikasi tanggal 8 Mei di Berlin.[230] Pusat Grup Angkatan Darat Jerman bertahan di Praha sampai 11 Mei.[231]

Di teater Pasifik, pasukan Amerika Serikat dibantu Persemakmuran Filipina bergerak maju di Filipina, membebaskan Leyte pada akhir April 1945. Mereka mendarat di Luzon bulan Januari 1945 dan mencaplok Manila bulan Maret setelah pertempuran yang menghancurkan kota ini. Pertempuran berlanjut di Luzon, Mindanao dan pulau-pulau lain di Filipina sampai berakhirnya perang.[232]

Bulan Mei 1945, tentara Australia mendarat di Kalimantan dan menduduki ladang minyak di sana. Pasukan Britania, Amerika Serikat, dan Tiongkok mengalahkan Jepang di Burma utara pada bulan Maret, dan Britania mencapai Rangoon pada tanggal 3 Mei.[233] Pasukan Tiongkok mulai balas menyerang pada Pertempuran Hunan Barat yang pecah antara 6 April dan 7 Juni 1945. Pasukan Amerika Serikat juga bergerak ke Jepang, mencaplok Iwo Jima pada bulan Maret, dan Okinawa pada akhir Juni.[234] Pesawat pengebom Amerika Serikat menghancurkan kota-kota Jepang dan kapal selam Amerika Serikat memutuskan impor Jepang.[235]

Tanggal 11 Juli, para pemimpin Sekutu bertemu di Potsdam, Jerman. Mereka menyetujui perjanjian awal tentang Jerman,[236] dan menegaskan tuntutan penyerahan diri semua pasukan Jepang, dengan menyatakan bahwa "alternatif bagi Jepang adalah kehancuran dalam waktu singkat".[237] Dalam konferensi ini, Britania Raya mengadakan pemilu dan Clement Attlee menggantikan Churchill sebagai Perdana Menteri.[238]

Saat Jepang terus mengabaikan persyaratan Potsdam, Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di kota Hiroshima dan Nagasaki, Jepang, pada awal Agustus. Di antara kedua pengeboman ini, Soviet, sesuai perjanjian Yalta, menyerbu Manchuria dudukan Jepang dan dengan cepat mengalahkan Angkatan Darat Kwantung yang saat itu merupakan pasukan tempur Jepang terbesar.[239][240] Pasukan Merah juga menduduki Pulau Sakhalin dan Kepulauan Kuril. Pada tanggal 15 Agustus 1945, Jepang menyerah dengan penandatanganan dokumen penyerahan diri di atas geladak kapal perang Amerika Serikat USS Missouri pada tanggal 2 September 1945, sehingga mengakhiri perang ini.[229]

Sekutu mendirikan pemerintahan pendudukan di Austria dan Jerman. Negara pertama menjadi negara netral dan tidak memihak dengan blok politik manapun. Negara terakhir dibelah menjadi zona pendudukan barat dan timur yang dikuasai Sekutu Barat dan Uni Soviet. Program denazifikasi di Jerman melibatkan pengadilan penjahat perang Nazi dan penggulingan mantan Nazi dari kekuasaan, meski kebijakan ini lebih condong ke amnesti dan reintegrasi mantan Nazi ke masyarakat Jerman Barat.[241]

Jerman kehilangan seperempat wilayahnya sebelum perang (1937), wilayah timur: Silesia, Neumark dan sebagian besar Pomerania diambil alih Polandia; Prusia Timur dibagi antara Polandia dan Uni Soviet, diikuti dengan pengusiran 9 juta warga Jerman dari provinsi-provinsi tersebut, serta 3 juta warga Jerman dari Sudetenland di Cekoslowakia ke Jerman. Pada 1950-an, satu dari lima orang Jerman Barat adalah pengungsi dari timur. Uni Soviet juga menduduki provinsi milik Polandia di sebelah timur Garis Curzon (melibatkan pengusiran 2 juta warga Polandia),[242] Rumania Timur,[243][244] dan sebagian Finlandia timur,[245] serta tiga negara Baltik.[246][247]

Demi mempertahankan perdamaian,[248] Sekutu mendirikan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang resmi berdiri tanggal 24 Oktober 1945,[249] dan mengadopsi Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia tahun 1948 sebagai standar umum bagi semua negara anggotanya.[250] Kekuatan-kekuatan besar yang menjadi pemenang perang—Amerika Serikat, Uni Soviet, Tiongkok, Britania Raya, dan Prancis—menjadi anggota tetap Dewan Keamanan PBB.[1] Kelima anggota tetap ini masih ada sampai sekarang, meski terjadi perubahan dua kursi, antara Republik Tiongkok dan Republik Rakyat Tiongkok tahun 1971, dan antara Uni Soviet dan negara penggantinya, Federasi Rusia, setelah pembubaran Uni Soviet. Aliansi antara Sekutu Barat dan Uni Soviet mulai memburuk, bahkan sejak sebelum perang berakhir.[251]

Jerman dibagi secara de facto, dan dua negara merdeka, Republik Federal Jerman dan Republik Demokratis Jerman[252] dibentuk di dalam perbatasan zona pendudukan Sekutu dan Soviet. Seluruh Eropa terbagi antara cakupan pengaruh Barat dan Soviet.[253] Kebanyakan negara Eropa timur dan tengah masuk dalam cakupan Soviet yang melibatkan pendirian rezim-rezim Komunis dengan dukungan penuh atau setengah dari otoritas pendudukan Soviet. Akibatnya, Polandia, Hungaria,[254] Cekoslowakia,[255] Rumania, Albania,[256] dan Jerman Timur menjadi negara satelit Soviet. Yugoslavia Komunis melaksanakan kebijakan merdeka penuh yang menciptakan ketegangan dengan Uni Soviet.[257]

Pembagian dunia pascaperang diresmikan oleh dua aliansi militer internasional, NATO pimpinan Amerika Serikat dan Pakta Warsawa pimpinan Soviet;[258] periode panjang ketegangan politik dan persaingan militer di antara mereka, Perang Dingin, akan dilengkapi oleh perlombaan senjata dan perang proksi yang tidak terduga.[259]

Di Asia, Amerika Serikat memimpin pendudukan Jepang dan menguasai bekas pulau-pulau Jepang di Pasifik Barat, sementara Soviet menganeksasi Sakhalin dan Kepulauan Kuril.[260] Korea, sebelumnya di bawah kekuasaan Jepang, dibagi dan diduduki oleh Amerika Serikat di Selatan dan Uni Soviet di Utara antara 1945 dan 1948. Republik terpisah muncul di kedua sisi garis paralel ke-38 pada tahun 1948, masing-masing mengklaim sebagai pemerintahan sah untuk seluruh Korea dan berujung pada pecahnya Perang Korea.[261]

Di Tiongkok, pasukan nasionalis dan komunis melanjutkan perang saudara pada bulan Juni 1946. Pasukan komunis menang dan mendirikan Republik Rakyat Tiongkok di daratan, sementara pasukan nasionalis mundur ke Taiwan tahun 1949.[262] Di Timur Tengah, penolakan Arab terhadap Rencana Pembagian Palestina Perserikatan Bangsa-Bangsa dan pembentukan Israel menandai eskalasi konflik Arab-Israel. Saat kekuatan-kekuatan kolonial Eropa berupaya merebut kembali sebagian atau semua imperium kolonialnya, kehilangan prestise dan sumber daya saat perang justru menggagalkan upaya ini dan mendorong dilakukannya dekolonisasi.[263][264]

Ekonomi global menderita akibat perang, meski negara-negara yang terlibat terpengaruh dengan berbagai cara. Amerika Serikat tampil lebih kaya daripada negara lain; negara ini mengalami ledakan bayi dan pada tahun 1950 produk domestik bruto per orangnya lebih tinggi daripada negara-negara besar lain dan Amerika Serikat mendominasi ekonomi dunia.[265][266] Britania Raya dan Amerika Serikat menerapkan kebijakan pelucutan industri di Jerman Barat pada tahun 1945–1948.[267] Akibat perdagangan internasional yang saling tergantung, hal ini menciptakan stagnasi ekonomi di Eropa dan menunda pemulihan Eropa selama beberapa tahun.[268][269]

Pemulihan dimulai dengan reformasi mata uang di Jerman Barat pada pertengahan 1948 dan dipercepat oleh liberalisasi kebijakan ekonomi Eropa yang dipengaruhi Rencana Marshall (1948–1951) baik secara langsung maupun tidak langsung.[270][271] Pemulihan Jerman Barat pasca-1948 disebut-sebut sebagai keajaiban ekonomi Jerman.[272] Selain itu, ekonomi Italia[273][274] dan Prancis juga meroket.[275] Kebalikannya, Britania Raya berada dalam fase kekacauan ekonomi,[276] dan terus memburuk selama beberapa dasawarsa.[277]

Uni Soviet, meski menderita kerugian manusia dan material yang luar biasa, juga mengalami peningkatan pesat produksi pada masa-masa pascaperang.[278] Jepang mengalami pertumbuhan ekonomi pesat, menjadi salah satu ekonomi terkuat dunia pada tahun 1980-an.[279] Tiongkok kembali ke produksi industrinya sebelum perang pada tahun 1952.[280]

Sekutu mendekat (1944)

Pada tanggal 6 Juni 1944 (dikenal sebagai D-Day), setelah tiga tahun ditekan Soviet,[139] Sekutu Barat menyerbu Prancis Utara. Setelah menyusun kembali beberapa divisi Sekutu dari Italia, mereka juga menyerang Prancis Selatan.[206] Semua pendaratan ini berhasil dan berakhir dengan kekalahan unit Angkatan Darat Jerman di Prancis. Paris dibebaskan oleh pemberontak lokal yang dibantu Pasukan Prancis Merdeka pada tanggal 25 Agustus[207] dan Sekutu Barat terus memukul pasukan Jerman di Eropa Timur sepanjang paruh terakhir tahun ini. Sebuah upaya bergerak maju melintasi Jerman Utara yang diawali dengan operasi udara besar-besaran di Belanda tidak berhasil.[208] Setelah itu, Sekutu Barat pelan-pelan masuk wilayah Jerman, namun gagal menyeberangi Sungai Rur dalam serangan besar. Di Italia, serbuan Sekutu juga terhambat saat mereka melintasi garis pertahanan besar Jerman terakhir.

Pada tanggal 22 Juni, Soviet mengadakan serangan strategis di Belarus ("Operasi Bagration") yang berakhir dengan nyaris kehancuran total Pusat Grup Angkatan Darat Jerman.[209] Tidak lama selepas itu, serangan strategis Soviet lainnya mengusir tentara Jerman dari Ukraina Barat dan Polandia Timur. Pergerakan Soviet sukses memaksa pasukan pemberontak di Polandia memulai sejumlah pemberontakan, meski yang terbesar di Warsawa, serta Pemberontakan Slowakia di selatan, tidak dibantu Soviet dan dipadamkan oleh pasukan Jerman.[210] Serangan strategis Pasukan Merah di Rumania timur memecah belah dan menghancurkan pasukan Jerman di sana sekaligus berhasil menggulingkan pemerintahan di Rumania dan Bulgaria, diikuti dengan memihaknya negara-negara tersebut ke Sekutu.[211]

Pada bulan September 1944, tentara Angkatan Darat Merah Soviet melaju hingga Yugoslavia dan memaksa penarikan cepat Grup Angkatan Darat Jerman E dan F di Yunani, Albania, dan Yugoslavia untuk menyelamatkan mereka dari kehancuran.[212] Pada saat ini, Partisan Komunis pimpinan Marsekal Josip Broz Tito, yang memulai kampanye gerilya sukses melawan pendudukan sejak 1941, menguasai sebagian besar teritori Yugoslavia dan terlibat dalam menunda serangan terhadap pasukan Jerman di selatan. Di Serbia utara, Pasukan Merah, dengan bantuan terbatas dari pasukan Bulgaria, membantu Partisan dalam pembebasan bersama ibu kota Belgrade tanggal 20 Oktober. Beberapa hari kemudian, Soviet melancarkan serangan massal terhadap Hungaria dudukan Jerman yang berlangsung sampai jatuhnya Budapest pada bulan Februari 1945.[213] Kebalikan dengan kemenangan impresif Soviet di Balkan, pemberontakan Finlandia terhadap serangan Soviet di Tanah Genting Karelia menggagalkan pendudukan Soviet di Finlandia dan berakhir dengan penandatanganan gencatan senjata Soviet-Finlandia pada kondisi relatif kondusif,[214][215] disertai memihaknya Finlandia ke Sekutu.

Pada awal Juli, pasukan Persemakmuran di Asia Tenggara menggagalkan pengepungan Jepang di Assam, memukul pasukannya kembali hingga Sungai Chindwin[216] sementara Tiongkok mencaplok Myitkyina. Di Tiongkok, Jepang menuai kesuksesan besar, berhasil mencaplok Changsha pada pertengahan Juni dan kota Hengyang pada awal Agustus.[217] Selepas itu, mereka menyerbu provinsi Guangxi, memenangkan pertempuran besar melawan pasukan Tiongkok di Guilin dan Liuzhou pada akhir November[218] dan berhasil menyatukan pasukan mereka di Tiongkok dan Indochina pada pertengahan Desember.[219]

Di Pasifik, pasukan Amerika Serikat terus menekan mundur perimeter Jepang. Pada pertengahan Juni 1944, mereka memulai serangan ke Kepulauan Mariana dan Palau, dan dengan telak mengalahkan pasukan Jepang pada Pertempuran Laut Filipina. Kekalahan-kekalahan ini memaksa Perdana Menteri Jepang Tōjō mengundurkan diri dan memberi Amerika Serikat keunggulan atas pangkalan udara baru untuk melancarkan serangan bom besar-besaran di kepulauan utama Jepang. Pada akhir Oktober, pasukan Amerika Serikat menyerbu pulau Leyte, Filipina; tidak lama kemudian, angkatan laut Sekutu mencetak kemenangan besar pada Pertempuran Teluk Leyte, salah satu pertempuran laut terbesar sepanjang sejarah.[220]

Invasi Jepang ke Uni Soviet dan Mongolia (1938)

Pada tanggal 29 Juli 1938, Jepang menyerbu Uni Soviet dan kalah di Pertempuran Danau Khasan. Meski pertempuran tersebut dimenangkan Soviet, Jepang menyebutnya seri dan buntu, dan pada tanggal 11 Mei 1939, Jepang memutuskan memindahkan perbatasan Jepang-Mongolia sampai Sungai Khalkhin Gol melalui pemaksaan. Setelah serangkaian keberhasilan awal, serangan Jepang di Mongolia digagalkan oleh Pasukan Merah yang menandakan kekalahan besar pertama Angkatan Darat Kwantung Jepang.[30][31]

Pertempuran ini meyakinkan sejumlah faksi pemerintahan Jepang bahwa mereka harus fokus berkonsiliasi dengan pemerintah Soviet demi menghindari ikut campur Soviet dalam perang melawan Tiongkok dan mengalihkan perhatian militer mereka ke selatan, yaitu ke jajahan Amerika Serikat dan Eropa di Pasifik, serta mencegah penggulingan pemimpin militer Soviet berpengalaman seperti Georgy Zhukov, yang kelak memainkan peran penting dalam mempertahankan Moskow.[32]

Kamp konsentrasi dan perbudakan

Nazi bertanggung jawab atas terjadinya Holocaust, yaitu pembunuhan sekitar enam juta (meskipun jumlahnya diragukan) kaum Yahudi (kebanyakan Ashkenazim), serta dua juta etnis Polandia dan empat juta orang lainnya yang dianggap "tidak layak hidup" (termasuk orang cacat dan sakit jiwa, tahanan perang Soviet, homoseksual, Freemason, Saksi-Saksi Yehuwa, dan Romani) sebagai bagian dari program pemusnahan dengan sengaja. Sekitar 12 juta orang, kebanyakan penduduk Eropa Timur, dipekerjakan sebagai buruh paksa di ekonomi perang Jerman.[306] Terlepas dari semua itu, ada beberapa pihak yang meragukan jumlah korban Holocoust. Mereka beranggapan bahwa korban Holocoust tidak sampai mencapai 6 juta orang, melainkan hanya ratusan ribu saja. Peristiwa ini juga dianggap oleh pihak-pihak tertentu sebagai propaganda untuk menarik simpati terhadap berdirinya negara Israel. Banyaknya negara-negara Eropa memberikan hukuman bagi siapa saja yang tidak percaya pada peristiwa Holocoust dan seringnya peristiwa ini ditunjukkan dalam film-film dan dalam buku-buku sejarah, membuat pihak-pihak tersebut ragu akan kebenaran peristiwa ini. Namun, terlepas dari semua keraguan itu, peristiwa pembantaian dan penyiksaan terhadap Yahudi benar-benar ada, meskipun jumlah korbannya masih kontroversial.

Selain kamp konsentrasi Nazi, gulag (kamp buruh) Soviet mengakibatkan kematian warga sipil negara-negara yang diduduki seperti Polandia, Lituania, Latvia, dan Estonia, serta tahanan perang Jerman dan bahkan warga sipil Soviet yang dianggap mendukung Nazi.[307] Enam puluh persen tahanan perang Jerman di Soviet tewas sepanjang perang.[308] Richard Overy memberi jumlah 5,7 juta tahanan perang Soviet. Dari jumlah tersebut, 57 persen meninggal dunia atau dibunuh dengan jumlah 3,6 juta orang.[309] Mantan tahanan perang Soviet dan warga sipil yang pulang diperlakukan dengan kecurigaan luar biasa sebagai pendukung Nazi yang potensial, dan beberapa di antara mereka dikirim ke Gulag setelah diperiksa NKVD.[310]

Kamp tahanan perang Jepang, kebanyakan dipakai sebagai kamp buruh, juga memiliki tingkat kematian tinggi. Pengadilan Militer Internasional untuk Timur Jauh menemukan tingkat kematian tahanan Barat adalah 27,1 persen (37 persen untuk tahanan perang Amerika Serikat),[311] tujuh kali lebih tinggi daripada tahanan perang di Jerman dan Italia.[312] Sementara 37.583 tahanan dari Britania Raya, 28.500 dari Belanda, dan 14.743 dari Amerika Serikat dilepaskan setelah penyerahan diri Jepang, tahanan Tiongkok yang dilepas hanya 56 orang.[313]

Menurut sejarawan Zhifen Ju, sedikitnya lima juta warga sipil Tiongkok dari Tiongkok utara dan Manchukuo diperbudak antara 1935 dan 1941 oleh Dewan Pembangunan Asia Timur, atau Kōain, untuk bekerja di pertambangan dan industri perang. Setelah 1942, jumlah ini mencapai 10 juta orang.[314] U.S. Library of Congress memperkirakan bahwa di Jawa, antar 4 dan 10 juta romusha (bahasa Indonesia: "buruh manual"), dipaksa bekerja oleh militer Jepang. Sekitar 270.000 buruh Jawa dikirim ke wilayah pendudukan Jepang lain di Asia Tenggara, dan hanya 52.000 orang yang pulang ke Jawa.[315]

Pada tanggal 19 Februari 1942, Roosevelt menandatangani Perintah Eksekutif 9066 yang menahan ribuan orang Jepang, Italia, Jerman Amerika, dan sejumlah emigran dari Hawaii yang mengungsi setelah pengeboman Pearl Harbor sampai perang berakhir. Pemerintah A.S. dan Kanada menahan 150.000 warga Jepang Amerika.[316][317] Selain itu, 14.000 penduduk Jerman dan Italia di A.S. yang dianggap sebagai risiko keamanan juga ditahan.[318]

Sesuai perjanjian Sekutu pada Konferensi Yalta, jutaan tahanan perang dan warga sipil dimanfaatkan sebagai buruh paksa oleh Uni Soviet.[319] Dalam hal Hungaria, penduduknya dipaksa bekerja untuk Uni Soviet sampai 1955.[320]

Front dalam negeri dan produksi

Di Eropa, sebelum pecah perang, Sekutu memiliki keunggulan signifikan dalam hal populasi dan ekonomi. Pada tahun 1938, Sekutu Barat (Britania Raya, Prancis, Polandia, dan Jajahan Britania) memiliki populasi 30 persen lebih besar dan produk domestik bruto 30 persen lebih besar daripada Poros Eropa (Jerman dan Italia); jika koloni disertakan dalam hitungan, Sekutu mendapatkan keunggulan 5:1 dalam jumlah penduduk dan 2:1 dalam PDB.[321] Di Asia pada saat yang sama, Tiongkok memiliki jumlah penduduk enam kali lebih banyak daripada Jepang, tetapi PDB yang 89 persen lebih tinggi; jumlah ini berkurang menjadi populasi tiga kali lebih banyak dan PDB 38 persen lebih tinggi jika koloni-koloni Jepang disertakan dalam hitungan.[321]

Meski keunggulan ekonomi dan populasi Sekutu dimanfaatkan besar-besaran selama serangan blitzkrieg awal Jerman dan Jepang, mereka menjadi faktor penentu pada tahun 1942, setelah Amerika Serikat dan Uni Soviet bergabung dengan Sekutu, setelah sebagian besar perang ini menjadi perang atrisi.[322] Sementara kemampuan Sekutu untuk melampaui produksi Poros sering dikaitkan dengan akses Sekutu yang besar ke sumber daya alam, faktor-faktor lain, seperti keengganan Jerman dan Jepang untuk mempekerjakan wanita dalam tenaga kerja,[323][324] pengeboman strategis oleh Sekutu,[325][326] dan peralihan terbaru Jerman ke ekonomi perang[327] sangat berkontribusi besar. Selain itu, baik Jerman maupun Jepang tidak berencana mengadakan perang yang berkepanjangan, dan tidak sanggup melakukannya.[328][329] Untuk meningkatkan produksi mereka, Jerman dan Jepang memanfaatkan jutaan buruh budak;[330] Jerman memanfaatkan 12 juta orang, kebanyakan dari Eropa Timur,[306] sementara Jepang memanfaatkan lebih dari 18 juta orang di Asia Timur Jauh.[314][315]

Di Eropa, pendudukan muncul dalam dua bentuk yang sangat berbeda. Di Eropa Barat, Utara, dan Tengah (Prancis, Norwegia, Denmark, Negara-Negara Hilir, dan wilayah Cekoslowakia yang dianeksasi), Jerman menerapkan kebijakan ekonomi yang berhasil mengumpulkan 69,5 miliar reichmark (27,8 miliar dolar AS) pada akhir perang; jumlah ini tidak meliputi perampokan produk industri, perlengkapan militer, bahan mentah, dan barang-barang lain.[331] Dari situ, pendapatan yang muncul dari negara-negara pendudukan mencapai 40 persen dari pendapatan yang dikumpulkan Jerman dari pajak, jumlah yang meningkat hampir 40 persen dari total pendapatan Jerman sepanjang perang.[332]

Di Timur, keuntungan yang diharapkan dari Lebensraum tidak pernah didapatkan karena garis depan yang berfluktuasi dan kebijakan bumi hangus Soviet memusnahkan sumber daya bagi para penjajah Jerman.[333] Tidak seperti di Barat, kebijakan ras Nazi mengizinkan kekejaman berlebihan terhadap "orang inferior" keturunan Slavik; sebagian besar serbuan Jerman disertai dengan eksekusi massal.[334] Meski kelompok pemberontak berdiri di hampir semua teritori pendudukan, mereka tidak mengganggu operasi Jerman baik di Timur[335] maupun Barat[336] sampai akhir tahun 1943.

Di Asia, Jepang menyebut negara-negara di bawah pendudukannya sebagai bagian dari Lingkup Persemakmuran Asia Timur Raya, yang pada dasarnya merupakan hegemoni Jepang yang diklaim bertujuan membebaskan bangsa yang dikolonisasi.[337] Meski pasukan Jepang awalnya disambut sebagai pembebas dari dominasi Eropa di sejumlah daerah, kekejaman mereka yang berlebihan mengubah opini publik menjadi menentang mereka dalam hitungan minggu.[338] Selama penaklukan awal Jepang, negara ini mencaplok 4.000.000 barel (640.000 m3) minyak (~5.5×105 ton) yang ditinggalkan oleh pasukan Sekutu yang mundur, dan pada tahun 1943 Jepang mampu merebut produksi minyak di Hindia Timur Belanda hingga 50 milliar barel, 76 persen dari tingkat produksinya tahun 1940.[338]

Pecah di Eropa (1939)

Pada tanggal 1 September 1939, Jerman dan Slowakia—negara klien pada tahun 1939—menyerang Polandia.[41] Tanggal 3 September, Prancis dan Britania Raya, diikuti negara-negara Persemakmuran,[42] menyatakan perang terhadap Jerman, tetapi memberi sedikit dukungan kepada Polandia ketimbang serangan kecil Prancis ke Saarland.[43] Britania dan Prancis juga mulai memblokir perairan Jerman pada tanggal 3 September untuk melemahkan ekonomi dan upaya perang negara ini.[44][45]

Tanggal 17 September, setelah menandatangani gencatan senjata dengan Jepang, Soviet juga menyerbu Polandia.[46] Wilayah Polandia terbagi antara Jerman dan Uni Soviet, dengan Lituania dan Slowakia mendapat bagian kecil. Polandia tidak menyerah; mereka mendirikan Negara Bawah Tanah Polandia dan Pasukan Dalam Negeri bawah tanah, dan terus berperang bersama Sekutu di semua front di luar Polandia.[47]

Sekitar 100.000 personel militer Polandia diungsikan ke Rumania dan negara-negara Baltik; sebagian besar tentara tersebut kemudian berperang melawan Jerman di teater perang yang lain.[48] Pemecah kode Enigma Polandia juga diungsikan ke Prancis.[49] Pada saat itu pula, Jepang melancarkan serangan pertamanya ke Changsha, sebuah kota Tiongkok yang strategis, tetapi digagalkan pada akhir September.[50]

Setelah invasi Polandia dan perjanjian Jerman-Soviet atas Lituania, Uni Soviet memaksa negara-negara Baltik mengizinkan mereka menempatkan tentara Soviet di negara mereka atas alasan "bantuan bersama".[51][52][53] Finlandia menolak permintaan wilayah dan diserang oleh Uni Soviet pada bulan November 1939.[54] Konflik yang kemudian pecah berakhir pada bulan Maret 1940 dengan konsesi oleh Finlandia.[55] Prancis dan Britania Raya, menyebut serangan Soviet ke Finlandia sebagai alasan memasuki kancah perang di pihak Jerman, menanggapi invasi Soviet dengan mendukung dikeluarkannya Uni Soviet dari Liga Bangsa-Bangsa.[53]

Di Eropa Barat, tentara Britania dikerahkan ke benua ini, namun pada fase yang dijuluki Perang Phoney oleh Britania dan "Sitzkrieg" (perang duduk) oleh Jerman tak satupun pihak yang melancarkan operasi besar-besaran terhadap satu sama lain sampai April 1940.[56] Uni Soviet dan Jerman membuat pakta dagang pada bulan Februari 1940, yang berarti Soviet menerima bantuan militer dan industri dengan imbalan menyediakan bahan mentah untuk Jerman agar bisa mengakali pemblokiran oleh Sekutu.[57]

Pada bulan April 1940, Jerman menginvasi Denmark dan Norwegia untuk mengamankan pengiriman bijih besi dari Swedia, yang hendak dihadang oleh Sekutu.[58] Denmark langsung menyerah setelah 6 jam, dan meski dibantu Sekutu, Norwegia berhasil dikuasai dalam waktu dua bulan.[59] Bulan Mei 1940, Britania menyerbu Islandia untuk mencegah kemungkinan invasi Jerman ke pulau itu.[60] Ketidakpuasan Britania atas kampanye Norwegia mendorong penggantian Perdana Menteri Neville Chamberlain dengan Winston Churchill pada tanggal 10 Mei 1940.[61]

Jerman menyerbu Prancis, Belgia, Belanda, dan Luksemburg pada tanggal 10 Mei 1940.[62] Belanda dan Belgia kewalahan menghadapi taktik blitzkrieg dalam beberapa hari dan minggu.[63] Jalur Maginot yang dipertahankan Prancis dan pasukan Sekutu di Belgia diakali dengan bergerak secara mengapit melintasi hutan lebat Ardennes,[64] yang disalahartikan oleh perencana perang Prancis sebagai penghalang alami bagi kendaraan lapis baja.[65]

Tentara Britania terpaksa keluar dari Eropa melalui Dunkirk, meninggalkan semua peralatan beratnya pada awal Juni.[66] Disini Hitler memerintahkan untuk tidak menyerang tentara yang terkepung di Pelabuhan Dunkirk, mengakibatkan kurang lebih 300.000 tentara berhasil mengevakuasi diri menuju daratan Britania Raya, hal ini dianggap sebagai blunder Hitler pertama. Tanggal 10 Juni, Italia menyerbu Prancis, menyatakan perang terhadap Prancis dan Britania Raya;[67] dua belas hari kemudian Prancis menyerah dan langsung dibelah menjadi zona pendudukan Jerman dan Italia,[68] dan sebuah negara sisa yang tak diduduki di bawah Rezim Vichy yang dipimpin oleh Phillipe Petain. Pada tanggal 3 Juli, Britania menyerang armada Prancis di Aljazair untuk mencegah pengambil alihan kapal perang prancis oleh Jerman.[69]

Bulan Juni, pada hari-hari terakhir Pertempuran Prancis, Uni Soviet memaksa aneksasi Estonia, Latvia, dan Lituania,[52] lalu menganeksasi wilayah Bessarabia yang dipertentangkan Rumania. Sementara itu, kesesuaian politik dan kerja sama ekonomi Nazi-Soviet[70][71] perlahan buntu,[72][73] dan kedua negara mulai bersiap untuk perang.[74]

Dengan Prancis dinetralkan, Jerman memulai kampanye superioritas udara atas Britania (Pertempuran Britania) untuk mempersiapkan sebuah invasi.[75]Awalnya Luftwaffe menargetkan lapangan udara dan industri Angkatan Udara Kerajaan (RAF). Namun, serangkaian pengeboman Berlin yang dirancang oleh Churchill membuat Hitler murka dan memerintahkan untuk mengebom Kota London yang menjadi blunder Hitler kedua. Kampanye ini gagal, dan rencana invasi tersebut dibatalkan pada bulan September.[75] Menggunakan pelabuhan-pelabuhan Prancis yang baru dicaplok, Angkatan Laut Jerman menikmati kesuksesan melawan Angkatan Laut Kerajaan dengan memakai kapal-U untuk menyerang kapal-kapal Britania di Atlantik.[76] Italia memulai operasinya di Mediterania, memulai pengepungan Malta bulan Juni, menguasai Somaliland Britania bulan Agustus, dan menerobos wilayah Mesir Britania bulan September 1940. Jepang meningkatkan pemblokirannya terhadap Tiongkok pada bulan September dengan merebut sejumlah pangkalan di wilayah utara Indochina Prancis yang saat ini terisolasi.[77]

Sepanjang periode ini, Amerika Serikat yang netral melakukan sejumlah hal untuk membantu Tiongkok dan Sekutu Baratnya. Pada bulan November 1939, Undang-Undang Netralitas diamendemen untuk memungkinkan pembelian "beli dan angkut" oleh Sekutu.[78] Tahun 1940, setelah pencaplokan Paris oleh Jerman, ukuran Angkatan Laut Amerika Serikat meningkat pesat dan, setelah serbuan Jepang ke Indochina, Amerika Serikat memberlakukan embargo besi, baja, dan barang-barang mekanik terhadap Jepang.[79] Pada bulan September, Amerika Serikat menyetujui penukaran kapal penghancur AS dengan pangkalan Britania Raya.[80] Tetap saja, mayoritas rakyat Amerika Serikat menentang intervensi militer langsung apapun terhadap konflik ini sampai tahun 1941.[81]

Pada akhir September 1940, Pakta Tiga Pihak menyatukan Jepang, Italia, dan Jerman untuk meresmikan Kekuatan Poros. Pakta Tiga Pihak ini menegaskan bahwa negara apapun, kecuali Uni Soviet, yang tidak terlibat dalam perang yang menyerang Kekuatan Poros apapun akan dipaksa berperang melawan ketiganya.[82] Pada waktu itu, Amerika Serikat terus mendukung Britania Raya dan Tiongkok dengan memperkenalkan kebijakan Lend-Lease yang mengizinkan pengiriman material dan barang-barang lain[83] dan membuat zona keamanan yang membentang hingga separuh Samudra Atlantik agar Angkatan Laut Amerika Serikat bisa melindungi konvoi Britania.[84] Akibatnya, Jerman dan Amerika Serikat terlibat dalam peperangan laut di Atlantik Utara dan Tengah pada Oktober 1941, bahkan meski Amerika Serikat secara resmi tetap netral.[85][86]

Blok Poros meluas bulan November 1940 ketika Hungaria, Slowakia, dan Rumania bergabung dengan Pakta Tiga Pihak ini.[87] Rumania akan memberi kontribusi besar terhadap perang Poros melawan Uni Soviet, sebagian untuk merebut kembali wilayah yang diserahkan kepada Soviet, sebagian lagi demi memenuhi keinginan pemimpinnya, Ion Antonescu, untuk melawan komunisme.[88] Pada bulan Oktober 1940, Italia menyerbu Yunani, tetapi beberapa hari kemudian digagalkan dan dipukul sampai Albania yang berakhir dengan kebuntuan.[89] Bulan Desember 1940, pasukan Persemakmuran Britania Raya memulai serangan balasan terhadap pasukan Italia di Mesir dan Afrika Timur Italia.[90] Pada awal 1941, dengan pasukan Italia dipukul hingga Libya oleh Persemakmuran, Churchill memerintahkan pengerahan tentara dari Afrika untuk membantu Yunani.[91] Angkatan Laut Italia juga menderita kekalahan besar, dengan Angkatan Laut Kerajaan membuat tiga kapal perang Italia tidak berfungsi melalui serangan kapal induk di Taranto, dan menetralisasi beberapa kapal perang lain pada Pertempuran Tanjung Matapan.[92]

Jerman segera turun tangan untuk membantu Italia. Hitler mengirimkan pasukan Jerman ke Libya pada bulan Februari, dan pada akhir Maret mereka melancarkan serangan terhadap pasukan Persemakmuran yang semakin sedikit.[93] Dalam kurun sebulan, pasukan Persemakmuran dipukul mundur ke Mesir dengan pengecualian pelabuhan Tobruk yang dikepung.[94] Persemakmuran berupaya mengusir pasukan Poros pada bulan Mei dan lagi pada bulan Juni, tetapi keduanya gagal.[95] Pada awal April, setelah penandatanganan Pakta Tiga Pihak oleh Bulgaria, Jerman turun tangan di Balkan dengan menyerbu Yunani dan Yugoslavia setelah terjadi kudeta; di sini mereka membuat kemajuan besar, sehingga memaksa Sekutu pindah setelah Jerman menguasai pulau Kreta, Yunani pada akhir Mei.[96]

Sekutu sempat beberapa kali berhasil pada saat itu. Di Timur Tengah, pasukan Persemakmuran pertama menggagalkan kudeta di Irak yang dibantu pesawat Jerman dari pangkalan-pangkalan di Suriah Vichy,[97] kemudian dengan bantuan Prancis Merdeka, menyerbu Suriah dan Lebanon untuk mencegah peristiwa seperti itu lagi.[98] Di Atlantik, Britania berhasil menaikkan moral publik dengan menenggelamkan kapal perang Jerman Bismarck.[99] Mungkin yang terpenting adalah pada Pertempuran Britania, Angkatan Udara Kerajaan berhasil bertahan dari serangan Luftwaffe dan kampanye pengeboman Jerman yang berakhir bulan Mei 1941.[100]

Di Asia, meski sejumlah serangan dari kedua pihak, perang antara Tiongkok dan Jepang buntu pada tahun 1940. Demi meningkatkan tekanan terhadap Tiongkok dengan memblokir rute-rute suplai, dan untuk memposisikan pasukan Jepang dengan tepat andai pecah perang dengan negara-negara Barat, Jepang merebut kendali militer di Indochina selatan[101] Pada Agustus 1940, kaum komunis Tiongkok melancarkan serangan di Tiongkok Tengah; sebagai balasan, Jepang menerapkan kebijakan keras (Kebijakan Serba Tiga) di daerah-daerah pendudukan untuk mengurangi sumber daya manusia dan bahan mentah untuk pasukan komunis.[102] Antipati yang terus berlanjut antara pasukan komunis dan nasionalis Tiongkok memuncak pada pertempuran bersenjata pada bulan Januari 1941, secara efektif mengakhiri kerja sama mereka.[103]

Dengan stabilnya situasi di Eropa dan Asia, Jerman, Jepang, dan Uni Soviet mempersiapkan diri. Dengan kekhawatiran Soviet terhadap meningkatnya ketegangan dengan Jerman dan rencana Jepang untuk memanfaatkan Perang Eropa dengan merebut jajahan Eropa yang kaya sumber daya alam di Asia Tenggara, kedua kekuatan ini menandatangani Pakta Netralitas Soviet–Jepang pada bulan April 1941.[104] Kebalikannya, Jerman bersiap-siap menyerang Uni Soviet dengan menempatkan pasukan dalam jumlah besar di perbatasan Soviet.[105]

Pada tanggal 22 Juni 1941, Jerman, bersama anggota Poros Eropa lainnya dan Finlandia, menyerbu Uni Soviet dalam Operasi Barbarossa. Target utama serangan kejutan ini[106] adalah kawasan Baltik, Moskow dan Ukraina dengan tujuan utama mengakhiri kampanye 1941 dekat jalur Arkhangelsk-Astrakhan yang menghubungkan Laut Kaspia dan Laut Putih. Tujuan Hitler adalah menghancurkan Uni Soviet sebagai sebuah kekuatan militer, menghapus komunisme, menciptakan Lebensraum ("ruang hidup")[107] dengan memiskinkan penduduk asli[108] dan menjamin akses ke sumber daya strategis yang diperlukan untuk mengalahkan musuh-musuh Jerman yang tersisa.[109]

Meski Angkatan Darat Merah mempersiapkan serangan balasan strategis sebelum perang,[110] Barbarossa memaksa komando tertinggi Soviet mengadopsi pertahanan strategis. Sepanjang musim panas, Poros berhasil menerobos jauh ke dalam wilayah Soviet, mengakibatkan kerugian besar dalam hal personel dan material. Dengan kacaunya koordinasi Moskow dengan tentara di Medan perang, Uni Soviet dibuat babak belur oleh tentara poros. Pada pertengahan Agustus, Komando Tinggi Angkatan Darat Jerman memutuskan menunda serangan oleh Army Group Centre yang kecil dan mengalihkan Satuan Panzer ke-2 untuk membantu tentara yang maju melintasi Ukraina tengah dan Leningrad.[111] Serangan Kiev sukses besar dan berakhir dengan pengepungan dan penghancuran empat unit pasukan Soviet, serta memungkinkan pergerakan lebih lanjut di Krimea dan Ukraina Timur yang industrinya maju (Pertempuran Kharkov Pertama).Sayangnya, pembagian kekuatan ini membuat momentum serangan ke Moscow hilang, dan Sovyet memiliki waktu untuk memperkuat diri.[112]

Pengalihan tiga per empat pasukan Poros dan sebagian besar angkatan udaranya dari Prancis dan Mediterania tengah ke Front Timur[113] membuat Britania mempertimbangkan kembali strategi besarnya.[114] Pada bulan Juli, Britania Raya dan Uni Soviet membentuk aliansi militer melawan Jerman[115] Britania dan Soviet menyerbu Iran untuk melindungi Koridor Persia dan ladang minyak Iran.[116] Bulan Agustus, Britania Raya dan Amerika Serikat bersama-sama meresmikan Piagam Atlantik.[117]

Pada bulan Oktober, ketika tujuan operasional Poros di Ukraina dan Baltik tercapai, dengan pengepungan Leningrad[118] dan Sevastopol yang masih berlanjut,[119] sebuah serangan besar ke Moskow dilancarkan kembali. Setelah dua bulan bertempur sengit, pasukan Jerman hampir mencapai pinggiran terluar Moskow, tempat tentara-tentaranya yang lelah[120] terpaksa menunda serangan mereka.[121] Pencaplokan teritorial besar dilakukan oleh pasukan Poros, tetapi kampanye mereka gagal mencapai tujuan utamanya: dua kota utama masih dikuasai Soviet, kemampuan memberontak Soviet gagal dipadamkan, dan Uni Soviet mempertahankan banyak sekali potensi militernya. Fase blitzkrieg perang di Eropa telah berakhir.[122]

Pada awal Desember, pasukan cadangan yang baru dimobilisasi[123] memungkinkan Soviet menyamakan jumlah tentaranya dengan Poros.[124] Hal ini, bersama data intelijen yang menetapkan jumlah minimum tentara Soviet di Timur yang cukup untuk mencegah serangan apapun oleh Angkatan Darat Kwantung Jepang,[125] memungkinkan Soviet memulai serangan balasan massal yang dimulai tanggal 5 Desember di front sepanjang 1.000 kilometer (620 mi) dan mendesak tentara Jerman mundur 100–250 kilometer (62–155 mi) ke barat.[126]

Keberhasilan Jerman di Eropa menggugah Jerman untuk meningkatkan tekanannya terhadap pemerintah-pemerintah Eropa di Asia Tenggara. Pemerintah Belanda setuju menyediakan minyak untuk Jepang dari Hindia Timur Belanda, namun menolak menyerahkan kendali politik atas koloninya. Prancis Vichy, sebaliknya, menyetujui pendudukan Jepang di Indochina Prancis.[127] Pada bulan Juli 1941, Amerika Serikat, Britania Raya, dan pemerintah Barat lainnya bereaksi terhadap pendudukan Indochina dengan membekukan aset-aset Jepang, sementara Amerika Serikat (yang menyediakan 80 persen minyak Jepang[128]) merespon dengan menerapkan embargo minyak secara penuh.[129] Ini berarti Jepang terpaksa memilih antara mengabaikan ambisinya di Asia dan perang melawan Tiongkok, atau merebut sumber daya alam yang diperlukan melalui kekuatan; militer Jepang tidak menganggap yang pertama sebagai pilihan, dan banyak pejabat menganggap embargo minyak sebagai pernyataan perang tidak langsung.[130]

Jepang berencana merebut koloni-koloni Eropa di Asia dengan cepat untuk menciptakan perimeter defensif besar yang membentang hingga Pasifik Tengah; Jepang kemudian bebas mengeksploitasi sumber daya di Asia Tenggara sambil menyibukkan Sekutu dengan melancarkan perang defensif.[131] Untuk mencegah intervensi Amerika Serikat sambil mengamankan perimeter, Jepang berencana menetralisasi Armada Pasifik Amerika Serikat dari kancah perang.[132] Pada tanggal 7 Desember (8 Desember di Asia) 1941, Jepang menyerang aset-aset Britania dan Amerika Serikat dengan serangan di Asia Tenggara dan Pasifik Tengah secara nyaris bersamaan.[133] Peristiwa ini meliputi serangan ke armada Amerika Serikat di Pearl Harbor, pendaratan di Thailand dan Malaya[133] dan pertempuran Hong Kong.

Serangan-serangan ini mendorong Amerika Serikat, Britania Raya, Tiongkok, Australia, dan beberapa negara lain secara resmi menyatakan perang terhadap Jepang, sementara Uni Soviet, karena sedang terlibat dalam perang besar-besaran dengan blok Poros Eropa, memilih untuk tetap netral dengan Jepang.[134][135] Jerman dan negara-negara Poros menanggapi dengan menyatakan perang terhadap Amerika Serikat. Pada bulan Januari, Empat Besar (Amerika Serikat, Britania Raya, Uni Soviet, Tiongkok),[136] dan 22 pemerintahan kecil atau terasingkan mengeluarkan Deklarasi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, sehingga memperkuat Piagam Atlantik,[137] dan melakukan kewajiban untuk tidak menandatangani perjanjian damai terpisah dengan negara-negara Poros. Sejak 1941, Stalin terus meminta Churchill, dan kemudian Roosevelt, untuk membuka 'front kedua' di Prancis.[138] Front Timur menjadi teater perang besar di Eropa dan jumlah korban Soviet yang berjumlah jutaan menciutkan jumlah korban Sekutu Barat yang hanya ratusan ribu orang; Churchill dan Roosevelt mengatakan mereka butuh lebih banyak waktu untuk persiapan, sehingga memunculkan klaim bahwa mereka sengaja buntu untuk menyelamatkan orang-orang Barat dengan mengorbankan orang-orang Soviet.[139]

Sementara itu, pada akhir April 1942, Jepang dan sekutunya Thailand hampir menguasai seluruh Burma, Malaya, Hindia Timur Belanda, Singapura,[140] dan Rabaul, sehingga menambah kerugian bagi tentara Sekutu dan banyak di antara mereka yang ditawan. Meski memberontak habis-habisan di Corregidor, Filipina akhirnya ditaklukkan pada bulan Mei 1942 dan memaksa pemerintah Persemakmuran Filipina mengasingkan diri.[141] Pasukan Jepang juga memenangkan pertempuran laut di Laut Tiongkok Selatan, Laut Jawa, dan Samudra Hindia,[142] dan mengebom pangkalan laut Sekutu di Darwin, Australia. Satu-satunya kesuksesan sejati Sekutu melawan Jepang adalah kemenangan Tiongkok di Changsha pada awal Januari 1942.[143] Kemenangan-kemenangan mudah atas lawan yang tidak punya persiapan ini membuat Jepang terlalu percaya diri dan berlebihan.[144]

Jerman juga mewujudkan inisiatifnya. Dengan mengeksploitasi keputusan komando laut Amerika Serikat yang ragu-ragu, Angkatan Laut Jerman mengacaukan jalur kapal Sekutu di lepas pesisir Atlantik Amerika Serikat.[145] Meski kalah besar, anggota Poros Eropa menghentikan serbuan Soviet di Rusia Tengah dan Selatan, sehingga melindungi sebagian besar jajahan yang mereka peroleh pada tahun sebelumnya.[146] Di Afrika Utara, Jerman melancarkan sebuah serangan pada bulan Januari yang memukul Britania kembali ke posisinya di Garis Gazala pada awal Februari,[147] diikuti oleh meredanya pertempuran untuk sementara yang dimanfaatkan Jerman untuk mempersiapkan serangan mereka selanjutnya.[148]

Kebuntuan serbuan Poros (1942)

Pada awal Mei 1942, Jepang memulai operasi untuk menduduki Port Moresby dengan serangan amfibi dan memutuskan komunikasi dan jalur suplai antara Amerika Serikat dan Australia. Akan tetapi, Sekutu berhasil mencegah invasi ini dengan mencegat dan mengalahkan pasukan laut Jepang pada Pertempuran Laut Koral.[149] Rencana Jepang selanjutnya, termotivasi oleh Serangan Doolittle sebelumnya, adalah merebut Atol Midway dan memancing kapal induk Amerika Serikat ke kancah perang untuk dihancurkan; sebagai aksi pengalihan, Jepang juga mengirimkan pasukan untuk menduduki Kepulauan Aleut di Alaska.[150] Pada awal Juni, Jepang melaksanakan operasinya, tetapi Amerika Serikat, setelah berhasil memecahkan kode laut Jepang pada akhir Mei, mengetahui semua rencana dan pemindahan pasukan mereka dan memakai pengetahuan ini untuk memperoleh kemenangan telak di Midway atas Angkatan Laut Kekaisaran Jepang.[151]

Dengan kapasitasnya untuk bertindak secara agresif hilang akibat Pertempuran Midway, Jepang memilih fokus pada upaya menduduki Port Moresby melalui kampanye darat di Teritori Papua.[152] Amerika Serikat merencanakan serangan balasan terhadap posisi Jepang di selatan Kepulauan Solomon, terutama Guadalcanal, sebagai tahap pertama menduduki Rabaul, pangkalan utama Jepang di Asia Tenggara.[153]

Kedua rencana ini dimulai bulan Juli, namun pada pertengahan September, Pertempuran Guadalcanal dimenangkan Jepang, dan tentara-tentara di Nugini diperintahkan mundur dari Port Moresby ke bagian utara pulau, tempat mereka menghadapi tentara Australia dan Amerika Serikat dalam Pertempuran Buna-Gona.[154] Guadalcanal segera menjadi titik fokus bagi kedua pihak dengan komitmen besar tentara dan kapal dalam pertempuran Guadalcanal. Pada awal 1943, Jepang dikalahkan di pulau ini dan menarik tentara mereka.[155] Di Burma, pasukan Persemakmuran melancarkan dua operasi. Pertama, ofensif ke wilayah Arakan pada akhir 1942 gagal dan memaksa pasukan mundur ke India bulan Mei 1943.[156] Kedua, penyisipan pasukan ireguler ke belakang garis depan Jepang bulan Februari yang, pada akhir April, memperoleh hasil yang diragukan.[157]

Di front timur Jerman, pasukan Poros mematahkan serangan Soviet di Semenanjung Kerch dan Kharkov,[158] dan kemudian melancarkan serangan musim panas utamanya terhadap Rusia Selatan pada bulan Juni 1942 untuk menguasai ladang minyak di Kaukasus dan menduduki stepa Kuban, sementara mempertahankan posisi di wilayah front sebelah utara dan tengah. Jerman membagi Grup Angkatan Darat Selatan menjadi dua grup: Grup Angkatan Darat A bergerak ke Sungai Don, sementara Grup Angkatan Darat B bergerak ke sebelah tenggara Kaukasus menuju Sungai Volga.[159] Soviet memutuskan bertahan di Stalingrad yang berada di jalur pergerakan pasukan Jerman.

Pada pertengahan November, Jerman hampir berhasil menduduki Stalingrad dalam pertempuran jalanan saat Soviet memulai serangan balasan musim dingin keduanya, dimulai dengan mengepung pasukan Jerman di Stalingrad[160] dan serangan ke unggulan Rzhev dekat Moskow, meski upaya terakhir gagal besar.[161] Pada awal Februari 1943, Angkatan Darat Jerman menderita kekalahan besar; tentara Jerman di Stalingrad dipaksa menyerah[162] dan garis depan dimundurkan hingga posisinya sebelum serangan musim panas. Pada pertengahan Februari, setelah desakan Soviet meruncing, Jerman melancarkan serangan lain ke Kharkov dan membentuk unggulan baru di garis depan mereka di sekitar kota Kursk, Rusia.[163]

Pada bulan November 1941, pasukan Persemakmuran mengadakan serangan balasan, Operasi Crusader, di Afrika Utara dan mengklaim kembali semua wilayah yang direbut Jerman dan Italia.[164] Di Barat, kekhawatiran bahwa Jepang mungkin memakai pangkalan di Madagaskar Vichy mendorong Britania menyerbu pulau ini pada awal Mei 1942.[165] Kesuksesan ini tidak bertahan lama setelah Poros berhasil memukul Sekutu kembali ke Mesir dalam serangan di Libya sampai pasukan Poros dihentikan di El Alamein.[166] Di Eropa, serangan komando Sekutu terhadap target-target strategis, berakhir dengan Serangan Dieppe yang menghancurkan,[167] menunjukkan ketidakmampuan Sekutu Barat untuk melancarkan invasi ke daratan Eropa tanpa persiapan, perlengkapan, dan keamanan operasional yang lebih baik.[168]

Pada bulan Agustus 1942, Sekutu sukses mematahkan serangan kedua terhadap El Alamein[169] dan, dengan banyak korban, berupaya mengirimkan suplai ke Malta yang sedang dikepung.[170] Beberapa bulan kemudian, Sekutu melancarkan serangan di Mesir, memecah pasukan Poros dan mendorong mereka ke barat melintasi Libya.[171] Serangan ini tidak lama kemudian dilanjutkan dengan invasi Inggris-Amerika Serikat ke Afrika Utara Prancis, yang berakhir dengan bergabungnya wilayah ini dengan Sekutu.[172] Hitler menanggapi pendudukan koloni Prancis ini dengan memerintahkan pendudukan Prancis Vichy;[172] meski pasukan Vichy sendiri tidak melawan pelanggaran gencatan senjata ini, mereka berusaha menenggelamkan armadanya sendiri agar tidak direbut pasukan Jerman.[173] Pasukan Poros yang sekarang kewalahan di Afrika mundur hingga Tunisia, yang kemudian dikuasai Sekutu pada bulan 1943.[174]

Pentingnya sikap Nonblok Indonesia

Sebagai negara dengan tradisi politik nonblok, Indonesia telah lama menempati posisi netral dalam percaturan geopolitik global.

Sejak era Presiden Soekarno, Indonesia konsisten menjaga hubungan baik dengan berbagai blok kekuatan, tanpa memihak secara eksplisit.

Prabowo, sebagai penerus tradisi ini, menegaskan bahwa Indonesia harus tetap pada jalur ini, tidak terlibat dalam aliansi militer atau politik yang dapat mengancam kedaulatan dan stabilitas nasional.

Di tengah dunia yang semakin multipolar, posisi nonblok Indonesia menjadi kunci dalam menjaga kestabilan domestik dan memaksimalkan peran diplomatik di arena internasional.

Pentingnya mempertahankan sikap nonblok Indonesia dalam menghadapi ancaman global yang semakin meningkat menjadi urgen.

Dalam pandangan Prabowo, sikap nonblok bukan hanya sekadar tradisi diplomasi, tetapi merupakan fondasi kebijakan luar negeri yang vital bagi kemandirian Indonesia dalam mengambil keputusan strategis.

Kebijakan ini telah diwariskan sejak era Presiden Soekarno dan telah memainkan peran penting dalam menjaga stabilitas nasional, bahkan di tengah ketegangan geopolitik global.

Dengan tidak terlibat dalam aliansi militer atau blok kekuatan manapun, Indonesia memiliki kebebasan untuk menjalankan politik luar negeri yang independen dan tidak terikat oleh kepentingan negara lain.

Sikap nonblok memberikan Indonesia fleksibilitas dalam menjaga keamanan dan stabilitas nasional. Dengan tidak berpihak kepada blok manapun, baik dalam hal militer maupun politik, Indonesia dapat menjaga hubungan yang seimbang dengan semua kekuatan besar di dunia.

Dalam konteks geopolitik global yang semakin kompleks, di mana rivalitas antara kekuatan besar seperti Amerika Serikat dan Tiongkok semakin tajam, posisi nonblok memungkinkan Indonesia untuk memainkan peran sebagai penengah yang netral.

Keputusan untuk mempertahankan sikap nonblok juga sejalan dengan upaya menjaga keamanan nasional di tengah ketidakpastian global.

Ancaman konflik besar, seperti yang diperingatkan oleh banyak pakar geopolitik, bisa menimbulkan dampak yang sangat merugikan bagi negara-negara di seluruh dunia.

Indonesia, sebagai negara yang berada di kawasan strategis Indo-Pasifik, memiliki kepentingan besar dalam menjaga perdamaian dan stabilitas di kawasan ini.

Dengan sikap nonblok, Indonesia tidak perlu terlibat dalam konflik yang dipicu oleh aliansi militer, tetapi tetap bisa memainkan peran diplomatik untuk meredakan ketegangan dan mempromosikan penyelesaian konflik secara damai.

Indonesia berkomitmen terhadap perdamaian global. Jadi sikap nonblok memberikan landasan bagi Indonesia untuk berperan aktif dalam forum-forum internasional seperti ASEAN dan PBB, di mana Indonesia dapat menyuarakan kepentingan perdamaian dan stabilitas regional maupun global.

Perang Dunia III atau Perang Dunia Ketiga, sering disingkat sebagai PD III atau PD 3, adalah nama yang diberikan untuk konflik militer hipotetis skala besar ketiga di seluruh dunia setelah Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Istilah ini telah digunakan setidaknya sejak 1941. Istilah ini kadang juga digunakan untuk merujuk pada konflik yang terbatas atau konflik yang kecil seperti Perang Dingin atau perang melawan terorisme. Sebaliknya, ada pula asumsi bahwa Perang Dunia III akan melampaui perang dunia sebelumnya baik dalam lingkup dan dampak destruktif.[1]

Potensi risiko kiamat nuklir yang menyebabkan kehancuran luas peradaban dan kehidupan Bumi adalah tema umum dalam spekulasi tentang perang dunia ketiga. Hal ini terutama didorong oleh pengembangan senjata nuklir di Proyek Manhattan, yang digunakan dalam pengeboman atom Hiroshima dan Nagasaki menjelang akhir Perang Dunia II, serta akuisisi serta penyebaran senjata nuklir oleh banyak negara setelahnya. Kekhawatiran utama lainnya adalah berkembangnya perang biologis yang dapat menyebabkan banyak korban. Perang ini bisa terjadi secara sengaja atau tidak sengaja, misalnya akibat pelepasan agen biologis yang tidak disengaja, mutasi agen yang tidak terduga, atau adaptasi senjata biologis menjadi spesies lain setelah digunakan. Peristiwa apokaliptik skala besar seperti ini, yang disebabkan oleh teknologi senjata pemusnah dan penghancur canggih, dapat mengakibatkan permukaan Bumi tidak dapat dihuni.

Sebelum dimulainya Perang Dunia II pada tahun 1939, Perang Dunia I (1914–1918) diyakini sebagai "perang untuk mengakhiri [semua] perang". Secara populer diyakini bahwa tidak akan pernah lagi mungkin ada konflik global sebesar itu. Selama periode antar perang, Perang Dunia I biasanya hanya disebut sebagai "Perang Besar". Pecahnya Perang Dunia II menyangkal harapan bahwa umat manusia telah berhasil mencegah terjadinya perang global yang meluas.[2]

Dengan munculnya Perang Dingin pada tahun 1945 dan dengan penyebaran teknologi senjata nuklir ke Uni Soviet, kemungkinan konflik global ketiga menjadi lebih masuk akal. Selama tahun-tahun Perang Dingin, kemungkinan perang dunia ketiga diantisipasi dan direncanakan oleh otoritas militer dan sipil di banyak negara. Skenario ini berkisar dari perang konvensional hingga perang nuklir terbatas atau total. Pada puncak Perang Dingin, doktrin penghancuran bersama (MAD "Mutually Assured Destruction" ), yang menetapkan bahwa konfrontasi nuklir habis-habisan akan menghancurkan semua negara yang terlibat dalam konflik, telah dikembangkan. Potensi kehancuran mutlak spesies manusia mungkin telah berkontribusi pada kemampuan para pemimpin Amerika dan Soviet untuk menghindari skenario tersebut.

Sejumlah opini telah menyatakan keprihatinan bahwa invasi Rusia 2022 yang sedang berlangsung ke Ukraina dapat meningkat menjadi Perang Dunia III.[3][4][5] Pada April 2022, televisi pemerintah Rusia menyatakan bahwa perang dunia ketiga telah dimulai, memberitahu Rusia untuk "mengakui" bahwa negara itu sekarang "berperang melawan infrastruktur NATO, jika bukan NATO sendiri" di Ukraina..[6]

Perencana militer telah menciptakan berbagai skenario, yang bersiap untuk bagian yang terburuk, sejak hari-hari awal Perang Dingin. Beberapa dari rencana tersebut sekarang sudah usang dan telah dibuka sebagian atau seluruhnya.

Perdana Menteri Inggris Winston Churchill khawatir bahwa, dengan besarnya jumlah pasukan Soviet yang dikerahkan di Eropa pada akhir Perang Dunia II dan pemimpin Soviet Joseph Stalin yang tidak dapat diandalkan, ada ancaman serius bagi Eropa Barat. Pada April – Mei 1945, Angkatan Bersenjata Inggris mengembangkan Operasi Unthinkable, yang dianggap sebagai skenario pertama Perang Dunia Ketiga.[7] Tujuan utamanya adalah "untuk memaksakan keinginan Amerika Serikat dan Kerajaan Inggris kepada Rusia".[8] Rencana tersebut ditolak oleh Kepala Staf Komite Inggris karena tidak sah secara militer.

"Operation Dropshot" adalah rencana kontingensi Amerika Serikat tahun 1950-an untuk kemungkinan perang nuklir dan konvensional dengan Uni Soviet di teater Eropa dan Asia Barat. Meskipun skenario tersebut menggunakan senjata nuklir, mereka tidak diharapkan tidak akan terlibat.

Pada saat persenjataan nuklir AS terbatas jumlahnya, sebagian besar berbasis di Amerika Serikat, dan bergantung pada pengirim pembom-nya. "Dropshot" merupakan misi yang akan menggunakan 300 bom nuklir dan 29.000 bom dengan daya ledak tinggi sekitar 200 target di 100 kota besar dan kecil untuk memusnahkan 85% potensi industri Uni Soviet dengan satu pukulan. Sekitar 75 dan 100 dari 300 senjata nuklir ditargetkan untuk menghancurkan pesawat tempur Soviet di darat.

Skenario ini dirancang sebelum pengembangan rudal balistik antarbenua. Hal ini juga dirancang sebelum Presiden AS John F. Kennedy dan Menteri Pertahanan-nya Robert McNamara mengubah rencana AS Perang Nuklir dari 'kota pembunuhan' imbangan rencana pemogokan untuk"penangkis" Rencana (ditargetkan lebih lanjut di pasukan militer). Senjata nuklir saat ini belum cukup akurat untuk menghantam pangkalan angkatan laut tanpa menghancurkan kota yang berdekatan dengannya, sehingga tujuan penggunaannya adalah untuk menghancurkan kapasitas industri musuh dalam upaya melumpuhkan ekonomi perang mereka.

Pada Januari 1950, Dewan Atlantik Utara menyetujui strategi penahanan militer NATO.[9] Perencanaan militer NATO menjadi semakin mendesak setelah pecahnya Perang Korea pada awal 1950-an, yang akhirnya mendorong NATO untuk membentuk "kekuatan di bawah komando terpusat, yang memadai untuk mencegah agresi dan untuk memastikan pertahanan Eropa Barat". Komando Sekutu Eropa didirikan di bawah Jenderal Angkatan Darat Dwight D. Eisenhower, Angkatan Darat AS, pada 2 April 1951. The Western Union Organisasi Pertahanan sebelumnya melakukan Latihan Verity, latihan multilateral tahun 1949 yang melibatkan serangan udara angkatan laut dan serangan kapal selam. Latihan Mainbrace mengumpulkan 200 kapal dan lebih dari 50.000 personel untuk melatih pertahanan Denmark dan Norwegia dari serangan Soviet pada tahun 1952. Ini merupakan latihan besar NATO yang pertama.[10][11] Latihan itu dipimpin bersama oleh Komandan Tertinggi Sekutu Laksamana Atlantik Lynde D. McCormick, USN, dan Komandan Tertinggi Sekutu Eropa Jenderal Matthew B Ridgeway, dari Angkatan Darat AS, selama musim gugur tahun 1952.

Latihan Grand Slam dan Longstep adalah latihan angkatan laut yang diadakan di Laut Mediterania selama tahun 1952 untuk melatih bagaimana mengusir pasukan pendudukan musuh dan penyerangan amfibi. Ini melibatkan lebih dari 170 kapal perang dan 700 pesawat di bawah komando keseluruhan Laksamana Robert B. Carney. Komandan latihan militer, Laksamana Carney merangkum pencapaian Latihan Grand Slam dengan menyatakan: "Kami telah menunjukkan bahwa komandan senior dari keempat kekuatan dapat berhasil mengambil alih gugus tugas campuran dan menanganinya secara efektif sebagai unit kerja."

Uni Soviet menyebut latihan tersebut sebagai "tindakan seperti perang" oleh NATO, dengan sumber khusus bahwa partisipasi Norwegia dan Denmark, dan mempersiapkan manuver militernya sendiri di Zona Soviet.[12][13]

"Latihan Strikeback" adalah latihan besar angkatan laut NATO yang diadakan pada tahun 1957, yang mensimulasikan respons terhadap serangan habis-habisan Soviet terhadap NATO. Latihan ini melibatkan lebih dari 200 kapal perang, 650 pesawat, dan 75.000 personel dari Angkatan Laut Amerika Serikat, Royal Navy Britania Raya, Royal Canadian Navy, Angkatan Laut Prancis, Angkatan Laut Kerajaan Belanda, dan Angkatan Laut Kerajaan Norwegia. Latihan ini dianggap sebagai operasi angkatan laut masa damai terbesar hingga saat itu, Latihan Serangan balik ini dianggap oleh analis militer Hanson W. Baldwin dari The New York Times sebagai "merupakan armada penyerang terkuat yang dikumpulkan sejak Perang Dunia II".[14]

Latihan Reforger (dari return forces for Germany) adalah latihan tahunan yang dilakukan, selama Perang Dingin, oleh NATO. Latihan itu dimaksudkan untuk memastikan bahwa NATO memiliki kemampuan untuk segera mengerahkan pasukan ke Jerman Barat jika terjadi konflik dengan Pakta Warsawa. Pakta Warsawa memiliki kekuatan konvensional melebihi jumlah NATO selama Perang Dingin, terutama hal kendaraan lapis baja. Oleh karena itu, jika terjadi invasi Soviet, agar tidak menggunakan serangan nuklir taktis, pasukan NATO yang menahan garis melawan ujung tombak kendaraan lapis baja Pakta Warsawa harus segera disuplai dan diganti. Sebagian besar dari dukungan ini akan datang dari seberang Atlantik Amerika Utara.

Reforger bukan hanya unjuk kekuatan — jika terjadi konflik, latihan akan menjadi rencana aktual untuk memperkuat kehadiran NATO di Eropa. Dalam hal ini, latihan ini akan disebut sebagai Operasi Reforger. Komponen penting dalam Reforger termasuk Komando Pengangkutan Udara Militer, Komando Pengangkutan Laut Militer, dan Armada Udara Cadangan Sipil.

"Tujuh hari ke Sungai Rhine" adalah latihan simulasi militer rahasia yang dikembangkan pada tahun 1979 oleh Pakta Warsawa.[15] Ini dimulai dengan perkiraan bahwa NATO akan melancarkan serangan nuklir di lembah sungai Vistula dalam skenario serangan pertama, yang akan mengakibatkan sebanyak dua juta korban sipil Polandia. Sebagai tanggapan, serangan balik Soviet akan dilakukan terhadap Jerman Barat, Belgia, Belanda dan Denmark, dengan pasukan Pakta Warsawa menyerang Jerman Barat dan bertujuan untuk berhenti di Sungai Rhine pada hari ketujuh. Rencana Uni Soviet lainnya berhenti hanya setelah mencapai perbatasan Prancis pada hari kesembilan. Masing-masing negara bagian Pakta Warsawa hanya diberi bagian gambar strategis mereka sendiri; dalam hal ini, pasukan Polandia diharapkan hanya maju sampai ke Jerman. Rencana Tujuh Hari ke Rhine membayangkan bahwa sebagian besar wilayah Polandia dan Jerman akan dihancurkan oleh ledakan nuklir, dan sejumlah besar pasukan akan mati karena radiasi nuklir. Diperkirakan NATO akan menembakkan senjata nuklir di belakang garis Soviet yang bergerak maju untuk memutus jalur pasokan mereka dan dengan demikian mengumpulkan kemajuan mereka. Sementara rencana ini mengasumsikan bahwa NATO akan menggunakan senjata nuklir untuk mendorong kembali setiap invasi Pakta Warsawa, hal itu tidak termasuk dalam serangan nuklir ke Prancis atau Inggris. Surat kabar berspekulasi ketika rencana ini dideklasifikasi, Prancis dan Inggris tidak boleh diserang dalam upaya membuat mereka menahan penggunaan senjata nuklir mereka sendiri.

"Able Archer 83" adalah latihan pos komando Organisasi Perjanjian Atlantik Utara (NATO) lima hari dan dimulai pada 7 November 1983, yang membentang di Eropa Barat, berpusat di Markas Besar Tertinggi Sekutu Eropa (SHAPE) Markas Besar di Casteau, utara kota Mons. Latihan Able Archer mensimulasikan periode eskalasi konflik, yang berpuncak pada serangan nuklir terkoordinasi.

Sifat realistis dari latihan tahun 1983, ditambah dengan memburuknya hubungan antara Amerika Serikat dan Uni Soviet dan antisipasi kedatangan rudal nuklir strategis Pershing II di Eropa, membuat beberapa anggota Politbiro dan militer Soviet percaya bahwa Able Archer 83 adalah tipu muslihat, yang mengaburkan persiapan untuk serangan nuklir pertama yang asli. Sebagai tanggapan, Soviet menyiapkan kekuatan nuklir mereka dan menempatkan unit udara di Jerman Timur dan Polandia dalam keadaan siaga. "Ketakutan perang tahun 1983" dianggap oleh banyak sejarawan sebagai yang paling dekat dengan perang nuklir dunia sejak Krisis Rudal Kuba 1962. Ancaman perang nuklir berakhir dengan berakhirnya latihan pada 11 November.[16][16][17][18][19][20][21][22][23]

Inisiatif Pertahanan Strategis (SDI) diusulkan oleh Presiden AS Ronald Reagan pada tanggal 23 Maret 1983.[24] Di akhir masa kepresidenannya, banyak faktor (termasuk penonton di film 1983 The Day After dan kejadiannya didengarkan melalui pemberontak Soviet Archer 83 yang hampir memicu serangan pertama Rusia) telah membuat Ronald Reagan menentang konsep perang nuklir yang dapat dimenangkan, dan dia mulai melihat senjata nuklir lebih sebagai "kartu liar" daripada pencegah strategis. Meskipun ia kemudian percaya pada perjanjian pelucutan senjata yang secara perlahan mengumpulkan bahaya persenjataan nuklir dengan mengurangi jumlah dan status kewaspadaan mereka, ia juga percaya bahwa solusi teknologi dapat memungkinkan ICBM yang masuk akan ditembak jatuh, sehingga membuat AS kebal terhadap serangan pertama. Namun, Uni Soviet melihat konsep SDI sebagai ancaman besar, karena penyebaran sistem secara sepihak akan memungkinkan AS untuk melancarkan serangan pertama besar-besaran terhadap Uni Soviet tanpa rasa takut akan pembalasan.

Konsep SDI menggunakan sistem berbasis darat dan ruang angkasa untuk melindungi Amerika Serikat dari serangan rudal balistik nuklir strategis. Inisiatif ini berfokus pada pertahanan strategis daripada doktrin pelanggaran strategis sebelumnya dari Mutual Assured Destruction (MAD). Organisasi Inisiatif Pertahanan Strategis (SDIO) didirikan pada tahun 1984 di dalam Departemen Pertahanan Amerika Serikat untuk mengawasi Inisiatif Pertahanan Strategis.

Rencana operasional NATO untuk Perang Dunia Ketiga telah melibatkan sekutu NATO yang tidak memiliki senjata nuklir, yang menggunakan senjata nuklir yang dipasok oleh Amerika Serikat sebagai bagian dari rencana umum perang NATO, di bawah arahan Panglima Tertinggi Sekutu NATO.[25][26][27][28]

Dari tiga kekuatan nuklir di NATO (Prancis, Britania Raya, dan Amerika Serikat) hanya Amerika Serikat yang menyediakan senjata untuk pembagian nuklir. Sampai November 2009, Belgia, Jerman, Italia, Belanda dan Turki masih menjadi tuan rumah senjata nuklir AS sebagai bagian dari kebijakan pembagian nuklir NATO. Kanada memiliki senjata nuklir sampai tahun 1984, dan Yunani sampai tahun 2001. Senjata nuklir taktis Britania Raya dari AS juga menerima seperti artileri nuklir dan misil Lance hingga 1992, meskipun Inggris adalah negara yang memiliki senjata nuklirnya sendiri; walaupun kebanyakan disimpan di Jerman.

Di masa damai, senjata nuklir yang disimpan di negara-negara non-nuklir dijaga oleh penerbang AS meskipun sebelumnya beberapa sistem artileri dan rudal dijaga oleh tentara Angkatan Darat AS; kode yang diperlukan untuk meledakkannya berada di bawah kendali Amerika. Jika terjadi perang, senjata harus dipasang di pesawat tempur negara kontestan. Senjata-senjata tersebut berada di bawah pengawasan dan kendali Skuadron Dukungan Munisi USAF yang ditempatkan di pangkalan operasi utama NATO yang bekerja sama dengan pasukan negara tuan rumah.[29]

Pada tahun 2005, 180 bom nuklir taktis B61 dari 480 senjata nuklir AS yang diyakini akan ditempatkan di Eropa berada di bawah pengaturan pembagian nuklir.[30] Senjata tersebut disimpan di dalam lemari besi di tempat penampungan pesawat yang diperkuat, menggunakan Sistem Penyimpanan dan Keamanan Senjata USAF WS3. Pesawat tempur pengiriman yang digunakan adalah F-16 Fighting Falcons dan Panavia Tornados.[31]

Perang Dunia II atau Perang Dunia Kedua (bahasa Inggris: World War II) (biasa disingkat menjadi PDII atau PD2) adalah sebuah perang global yang berlangsung mulai tahun 1939 sampai 1945. Perang ini melibatkan puluhan negara di seluruh penjuru dunia —termasuk semua kekuatan besar—yang pada akhirnya membentuk dua aliansi militer yang saling bertentangan: Sekutu dan Poros. Perang ini merupakan perang terluas dalam sejarah yang melibatkan lebih dari 100 juta orang di berbagai pasukan militer. Dalam keadaan "perang total", negara-negara besar memaksimalkan seluruh kemampuan ekonomi, industri, dan pengetahuan ilmiahnya untuk keperluan perang, sehingga menghapus perbedaan antara sumber daya sipil dan militer. Ditandai oleh sejumlah peristiwa penting yang melibatkan kematian massal warga sipil, termasuk Holokaus dan pemakaian senjata destruktif dalam peperangan, perang ini memakan korban jiwa sebanyak 50 juta sampai 70 juta jiwa. Jumlah kematian ini menjadikan Perang Dunia II konflik paling mematikan sepanjang sejarah umat manusia.[1]

Banyak ahli berpendapat bahwa Perang Dunia 2 dimulai saat invasi Kerajaan Italia menuju Kerajaan Ethiopia pada tanggal 3 Oktober 1935 dan berakhir dengan kapitulasi Kerajaan Ethiopia pada tanggal 5 Mei 1936

Ada juga yang berpendapat bahwa Perang Dunia 2 dimulai dengan Perang Sino-Jepang 2, dengan tujuan mendapatkan lebih banyak pengaruh di kawasan asia dan mendapatkan SDA Tiongkok.

Tetapi perang dunia secara umum pecah pada tanggal 1 September 1939 dengan invasi ke Polandia oleh Jerman yang diikuti serangkaian pernyataan perang terhadap Jerman oleh Prancis dan Britania Raya pada tanggal 3 September 1939. Sejak akhir tahun 1939 hingga awal 1941, dalam serangkaian kampanye dan perjanjian, Jerman membentuk aliansi Poros bersama Italia, menguasai atau menaklukkan sebagian besar benua Eropa. Setelah Pakta Molotov–Ribbentrop, Jerman dan Uni Soviet berpisah dan menganeksasi wilayah negara-negara tetangganya sendiri di Eropa, termasuk Polandia. Britania Raya, dengan imperium dan Persemakmurannya, menjadi satu-satunya kekuatan besar Sekutu yang terus berperang melawan blok Poros, dengan mengadakan pertempuran di Afrika Utara dan Pertempuran Atlantik. Bulan Juni 1941, Poros Eropa melancarkan invasi terhadap Uni Soviet yang menandakan terbukanya invasi darat terbesar sepanjang sejarah, yang melibatkan sebagian besar pasukan militer Poros sampai akhir perang. Pada bulan Desember 1941, Jepang bergabung dengan blok Poros, menyerang Amerika Serikat dan teritori Eropa di Samudra Pasifik, dan dengan cepat menguasai sebagian besar Pasifik Barat.

Serbuan Poros berhenti pada tahun 1942, setelah Jepang kalah dalam berbagai pertempuran laut seperti Pertempuran Midway serta mengalami kemunduran di front China. Tentara Poros Eropa dikalahkan di Afrika Utara, Normandy dan Stalingrad. Pada tahun 1943, melalui serangkaian kekalahan Jerman di Eropa Timur, invasi Sekutu ke Italia, dan kemenangan Amerika Serikat di Pasifik, Poros kehilangan inisiatif mereka dan mundur secara strategis di semua front. Tahun 1944, pihak Sekutu menyerbu Prancis, sementara Uni Soviet merebut kembali semua teritori yang pernah dicaplok di Eropa Timur dan menyerbu Jerman beserta sekutunya. Perang di Eropa berakhir dengan pendudukan Berlin oleh tentara Soviet dan Polandia dan penyerahan tanpa syarat Jerman pada tanggal 8 Mei 1945. Sepanjang 1944 dan 1945, Amerika Serikat mengalahkan Angkatan Laut Jepang dan menduduki beberapa pulau di Pasifik Barat, menjatuhkan bom atom di negara itu menjelang invasi ke Kepulauan Jepang. Uni Soviet kemudian mengikuti dengan menyatakan perang terhadap Jepang dan menyerbu Manchuria. Kekaisaran Jepang menyerah pada tanggal 15 Agustus 1945, sehingga mengakhiri perang di Asia dan memperkuat kemenangan total Sekutu atas Poros.

Perang Dunia II mengubah haluan politik dan struktur sosial dunia. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) didirikan untuk memperkuat kerja sama internasional dan mencegah konflik-konflik yang akan datang. Para kekuatan besar yang merupakan pemenang perang—Amerika Serikat, Uni Soviet, Tiongkok, Britania Raya, dan Prancis—menjadi anggota tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa.[1] Uni Soviet dan Amerika Serikat muncul sebagai kekuatan super yang saling bersaing dan mendirikan panggung Perang Dingin yang kelak bertahan selama 46 tahun selanjutnya. Sementara itu, pengaruh kekuatan-kekuatan besar Eropa mulai melemah, dan dekolonisasi Asia dan Afrika dimulai. Kebanyakan negara yang industrinya terkena dampak buruk mulai menjalani pemulihan ekonomi. Integrasi politik, khususnya di Eropa, muncul sebagai upaya untuk menstabilkan hubungan pascaperang.

Awal terjadinya perang umumnya disetujui pada tanggal 1 September 1939, dimulai dengan invasi Jerman ke Polandia; Britania dan Prancis menyatakan perang terhadap Jerman dua hari kemudian. Tanggal lain mengenai awal perang ini adalah dimulainya Perang Tiongkok-Jepang Kedua pada 7 Juli 1937.[2][3]

Lainnya mengikuti sejarawan Britania Raya A. J. P. Taylor, yang percaya bahwa Perang Tiongkok-Jepang dan perang di Eropa beserta koloninya terjadi bersamaan dan dua perang ini bergabung pada tahun 1941. Artikel ini memakai penanggalan konvesional. Tanggal-tanggal awal lainnya yang sering dipakai untuk Perang Dunia II juga meliputi invasi Italia ke Abisinia pada tanggal 3 Oktober 1935.[4] Sejarawan Britania Raya Antony Beevor memandang awal Perang Dunia Kedua terjadi saat Jepang menyerbu Manchuria bulan Agustus 1939.[5]

Tanggal pasti akhir perang juga tidak disetujui secara universal. Dari dulu disebutkan bahwa perang berakhir saat gencatan senjata 14 Agustus 1945 (V-J Day), alih-alih penyerahan diri resmi Jepang (2 September 1945); di sejumlah teks sejarah Eropa, perang ini berakhir pada V-E Day (8 Mei 1945). Meski begitu, Perjanjian Damai dengan Jepang baru ditandatangani pada tahun 1951,[6] dan dengan Jerman pada tahun 1990.[7]

Perang Dunia I membuat perubahan besar pada peta politik, dengan kekalahan Blok Sentral, termasuk Austria-Hungaria, Kekaisaran Jerman, Kerajaan Bulgaria dan Kesultanan Utsmaniyah; dan perebutan kekuasaan oleh Bolshevik di Rusia pada tahun 1917. Sementara itu, negara-negara Sekutu yang menang seperti Prancis, Belgia, Italia, Yunani, dan Rumania memperoleh wilayah baru, dan negara-negara baru tercipta dari runtuhnya Austria-Hungaria, Kekaisaran Rusia, dan Kesultanan Utsmaniyah.

Meski muncul gerakan pasifis setelah Perang Dunia I,[8][9] kekalahan ini masih membuat nasionalisme iredentis dan revanchis pemain utama di sejumlah negara Eropa. Iredentisme dan revanchisme punya pengaruh kuat di Jerman karena kehilangan teritori, koloni, dan keuangan yang besar akibat Perjanjian Versailles. Menurut perjanjian ini, Jerman kehilangan 13 persen wilayah dalam negerinya dan seluruh koloninya di luar negeri, sementara Jerman dilarang menganeksasi negara lain, harus membayar biaya perbaikan perang dengan jumlah besar, dan membatasi ukuran dan kemampuan angkatan bersenjata negaranya hingga menjadi 100.000 tentara tanpa angkatan udara serta ukuran tonase kapal perang maksimal ⅓ dari kapal terbesar Britania Raya

Kekaisaran Jerman bubar melalui Revolusi Jerman 1918–1919 dan kemenangan tentara merah dan menuju sebuah pemerintahan demokratis yang kemudian dikenal dengan nama Republik Weimar dibentuk. Periode antarperang melibatkan kerusuhan antara pendukung republik baru ini dan penentang garis keras atas sayap kanan maupun kiri. Walaupun Italia selaku sekutu Entente berhasil merebut sejumlah wilayah, kaum nasionalis Italia marah mengetahui janji-janji Britania dan Prancis yang menjamin masuknya Italia ke kancah perang tidak dipenuhi dengan penyelesaian damai. Sejak 1922 sampai 1925, gerakan Fasis pimpinan Benito Mussolini berkuasa di Italia dengan agenda nasionalis, totalitarian, dan kolaborasionis kelas yang menghapus demokrasi perwakilan, penindasan sosialis, kaum sayap kiri dan liberal, dan mengejar kebijakan luar negeri agresif yang berusaha membawa Italia sebagai kekuatan dunia—"Kekaisaran Romawi Baru".[10]

Di Jerman, Partai Nazi yang dipimpin Adolf Hitler berupaya mendirikan pemerintahan fasis di Jerman. Setelah Depresi Besar dimulai, dukungan dalam negeri untuk Nazi meningkat dan, pada tahun 1933, Hitler ditunjuk sebagai Kanselir Jerman. Setelah kebakaran Reichstag, Hitler menciptakan negara satu partai totalitarian yang dipimpin Partai Nazi.[11]

Partai Kuomintang (KMT) di Tiongkok melancarkan kampanye penyatuan melawan panglima perang regional dan secara nominal berhasil menyatukan Tiongkok pada pertengahan 1920-an, tetapi langsung terlibat dalam perang saudara melawan bekas sekutunya yang komunis.[12] Pada tahun 1931, Kekaisaran Jepang yang semakin militaristik, yang sudah lama berusaha memengaruhi Tiongkok[13] sebagai tahap pertama dari apa yang disebut pemerintahnya sebagai hak untuk menguasai Asia, memakai Insiden Mukden sebagai alasan melancarkan invasi ke Manchuria dan mendirikan negara boneka Manchukuo.[14]

Terlalu lemah melawan Jepang, Tiongkok meminta bantuan Liga Bangsa-Bangsa. Jepang menarik diri dari Liga Bangsa-Bangsa setelah dikecam atas tindakannya terhadap Manchuria. Kedua negara ini kemudian bertempur di Shanghai, Rehe, dan Hebei sampai Gencatan Senjata Tanggu ditandatangani tahun 1933. Setelah itu, pasukan sukarelawan Tiongkok melanjutkan pemberontakan terhadap agresi Jepang di Manchuria, dan Chahar dan Suiyuan.[15]

Adolf Hitler, setelah upaya gagal menggulingkan pemerintah Jerman tahun 1923, menjadi Kanselir Jerman pada tahun 1933. Dikarenakan Partai Nazi menjadi partai terbesar di parlemen saat itu. Setelah Presiden Hindenburg meninggal, ia mendeklarasikan diri sebagai Fuhrer Jerman Nazi. Ia menghapus demokrasi, menciptakan rezim yang mementingkan chauvinisme, dan segera memulai serangkaian program pembangunan kembali ekonomi Jerman yang terpuruk dan kampanye persenjataan kembali.[16] Sementara itu, Prancis, untuk melindungi aliansinya, memberikan Italia kendali atas Ethiopia yang diinginkan Italia sebagai jajahan kolonialnya. Situasi ini memburuk pada awal 1935 ketika Teritori Cekungan Saar dengan sah bersatu kembali setelah Hitler memerintahkan untuk menganeksasinya kedalam teritori Jerman Nazi.

Berharap mencegah Jerman, Britania Raya, Prancis, dan Italia membentuk Front Stresa. Uni Soviet, khawatir akan keinginan Jerman mencaplok wilayah luas di Eropa Timur, membuat perjanjian bantuan bersama dengan Prancis. Sebelum diberlakukan, pakta Prancis-Soviet ini perlu melewati birokrasi Liga Bangsa-Bangsa, yang pada dasarnya menjadikannya tidak berguna.[17][18] Akan tetapi, pada bulan Juni 1935, Britania Raya membuat perjanjian laut independen dengan Jerman, sehingga melonggarkkan batasan-batasan sebelumnya. Amerika Serikat, setelah mempertimbangkan peristiwa yang terjadi di Eropa dan Asia, mengesahkan Undang-Undang Netralitas pada bulan Agustus.[19] Pada bulan Oktober, Italia menginvasi Ethiopia, dan Jerman adalah satu-satunya negara besar Eropa yang mendukung tindakan tersebut. Italia langsung menarik keberatannya terhadap tindakan Jerman menganeksasi Austria.[20]

Hitler menolak Perjanjian Versailles dan Locarno dengan meremiliterisasi Rhineland pada bulan Maret 1936. Ia mendapat sedikit tanggapan dari kekuatan-kekuatan Eropa lainnya.[21] Ketika Perang Saudara Spanyol pecah bulan Juli, Hitler dan Mussolini mendukung pasukan Nasionalis yang fasis dan otoriter dalam perang saudara mereka melawan Republik Spanyol yang didukung Soviet. Kedua pihak memakai konflik ini untuk menguji senjata dan metode peperangan baru,[22] berakhir dengan kemenangan Nasionalis pada awal 1939. Bulan Oktober 1936, Jerman dan Italia membentuk Poros Roma-Berlin. Sebulan kemudian, Jerman dan Jepang menandatangani Pakta Anti-Komintern, namun kelak diikuti Italia pada tahun berikutnya. Di Tiongkok, setelah Insiden Xi'an, pasukan Kuomintang dan komunis menyetujui gencatan senjata untuk membentuk front bersatu dan sama-sama melawan Jepang.[23]

Kemajuan teknologi dan peperangan

Pesawat terbang dimanfaatkan sebagai alat mata-mata, pesawat tempur, pengebom, dan bantuan darat, dan masing-masing perannya memperoleh kemajuan yang berarti. Inovasi-inovasi yang muncul meliputi pengangkutan udara (kemampuan memindahkan suplai, perlengkapan, dan personel berprioritas tinggi dan terbatas dalam waktu singkat);[339] dan pengeboman strategis (pengeboman kawasan berpenduduk untuk menghancurkan industri dan moral).[340] Persenjataan antipesawat juga dikembangkan, termasuk pertahanan radar dan artileri darat-ke-udara, seperti senjata 88 mm Jerman. Pemakaian pesawat jet dimulai dan meski pengenalannya yang terlambat memberi sedikit pengaruh, pesawat jet kelak menjadi standar angkatan udara di seluruh dunia.[341]

Kemajuan dibuat di hampir segala aspek pertempuran laut, terutama kapal angkut pesawat (kapal induk) dan kapal selam. Meski sejak awal perang, peperangan udara menuai sedikit kesuksesan, berbagai aksi di Taranto, Pearl Harbor, Laut Tiongkok Selatan, dan Laut Koral membuat kapal induk dianggap mampu menggantikan kapal perang.[342][343][344]

Di Atlantik, kapal induk pengawal terbukti memainkan peran penting dalam konvoi Sekutu dan meningkatkan radius perlindungan efektif serta membantu menutup celah Atlantik Tengah.[345] Kapal induk juga lebih ekonomis daripada kapal perang karena biaya produksi pesawat yang relatif rendah[346] dan tidak perlu diperkuat habis-habisan.[347] Kapal selam, terbukti merupakan senjata efektif pada Perang Dunia Pertama,[348] diantisipasi oleh semua pihak sebagai sesuatu yang terpenting nomor dua. Britania memfokuskan pengembangan persenjataan dan taktik antikapal selam, seperti sonar dan konvoi, sementara Jerman berfokus pada memperbarui kemampuan serangannya dengan desain seperti kapal selam Tipe VII dan taktik wolfpack.[349] Secara perlahan, teknologi baru Sekutu seperti sinar Leigh, hedgehog, squid, dan torpedo pintar terbukti unggul.

Peperangan darat berubah dari garis depan statis pada Perang Dunia I ke peningkatan mobilitas dan senjata gabungan. Tank, yang sering dipakai untuk membantu infanteri saat Perang Dunia Pertama, berubah menjadi senjata utama.[350] Pada akhir 1930-an, desain tank lebih maju dibandingkan saat Perang Dunia I,[351] dan kemajuan terjadi sepanjang perang melalui peningkatan kecepatan, pertahanan, dan daya tembak.

Saat perang dimulai, kebanyakan komandan menduga tank musuh harus bertemu tank dengan spesifikasi yang lebih hebat.[352] Ide ini ditantang oleh performa buruk senjata tank awal yang relatif ringan melawan kendaraan lapis baja, dan doktrin Jerman menghindari pertempuran tank-versus-tank. Hal ini, bersama pemakaian senjata gabungan oleh Jerman, termasuk di antara elemen kunci kesuksesan taktik blitzkrieg mereka di Polandia dan Prancis.[350] Banyak cara untuk menghancurkan tank, termasuk dengan artileri tidak langsung, senjata antitank (baik yang ditarik maupun gerak sendiri), ranjau, senjata antitank infanteri jarak pendek, dan bahkan tank lain pun diikutsertakan.[352] Bahkan dengan mekanisasi besar-besaran, infanteri masih merupakan tulang punggung seluruh pasukan,[353] dan sepanjang perang, sebagian besar infanteri memiliki perlengkapan yang sama seperti saat Perang Dunia I.[354]

Senapan mesin portabel meluas, seperti MG34 Jerman dan berbagai senapan submesin yang dimodifikasi untuk pertempuran jarak dekat di perkotaan dan hutan.[354] Senapan serbu, sebuah pengembangan akhir perang yang mencakup berbagai fitur bedil dan senjata submesin, menjadi senjata standar infanteri pascaperang untuk sebagian besar angkatan bersenjata.[355][356]

Sebagian besar pihak yang terlibat berupaya memecahkan masalah kompleksitas dan kerumitan yang muncul dari pemakaian buku kode besar untuk kriptografi dengan memakai mesin sandi, yang paling terkenal adalah mesin Enigma Jerman.[357] SIGINT (signals intelligence) adalah proses melawan dekripsi yang pernah dipakai oleh Sekutu untuk memecahkan kode laut Jepang[358] dan Ultra dari Britania Raya, berasal dari metodologi dari Polish Cipher Bureau, yang berhasil mengungkap Enigma sejak tujuh tahun sebelum perang dimulai.[359] Aspek lain intelijen militer adalah pemakaian kebohongan, yang berhasil dipakai oleh Sekutu dengan kesuksesan besar seperti dalam operasi Mincemeat dan Bodyguard.[358][360] Kemajuan teknologi dan rekayasa lainnya tercapai sepanjang atau setelah perang, termasuk komputer-komputer terprogram pertama di dunia (Z3, Colossus, dan ENIAC), misil pandu dan roket modern, pengembangan senjata nuklir Proyek Manhattan, penelitian operasi dan pengembangan pelabuhan buatan dan jalur pipa di bawah Selat Inggris.[361]

Amerika Serikat. Sekutu kehilangan 160.000 penerbang dan 33.700 pesawat sepanjang perang udara di Eropa.

, antara tahun 1939 dan 1945. 3.500 kapal dagang Sekutu ditenggelamkan dengan mengorbankan 783 kapal-U Jerman.

Soviet, tank paling banyak diproduksi dalam perang ini. Lebih dari 57.000 unit dibuat pada tahun 1945.

Holocaust berlangsung dalam konteks yang lebih luas dari Perang Dunia II. Masih terseok-seok akibat kekalahan Jerman dalam Perang Dunia I, pemerintah Hitler membayangkan suatu kekaisaran “ruang hidup” baru yang sangat luas (Lebensraum) di Eropa timur. Pewujudan dominasi Jerman di Eropa, sebagaimana yang diperhitungkan para pimpinannya, mengharuskan perang.

Potongan Film Historis

Jerman menginvasi Polandia pada 1 September 1939, sehingga dimulailah Perang Dunia II. Berhasil mengalahkan pertahanan perbatasan Polandia dalam waktu singkat, pasukan Jerman merangsek maju menuju Warsawa, ibu kota Polandia. Rekaman yang berasal dari warta berita Jerman ini menunjukkan aksi pasukan Jerman saat menginvasi Polandia. Warsawa menyerah pada 28 September 1939.

Setelah mendapatkan jaminan netralitas dari Uni Soviet (melalui Pakta nonagresi Jerman-Soviet pada Agustus 1939), Jerman memulai Perang Dunia II dengan menyerang Polandia pada 1 September 1939. Inggris dan Prancis meresponsnya dengan menyatakan perang terhadap Jerman pada 3 September. Dalam waktu sebulan, Polandia dikalahkan oleh gabungan pasukan Jerman dan Soviet dan dibagi dua untuk Jerman Nazi dan Uni Soviet.

Waktu relatif tenang menyusul kekalahan Polandia berakhir pada 9 April 1940, ketika pasukan Jerman menginvasi Norwegia dan Denmark. Pada 10 Mei 1940, Jerman memulai serangannya terhadap Eropa barat dengan menginvasi negara-negara di dataran rendah di pesisir pantai barat laut Eropa/Low Countries (Belanda, Belgia, dan Luksemburg), yang telah mengambil posisi netral dalam perang, serta Prancis. Pada 22 Juni 1940, Prancis menandatangani perjanjian gencatan senjata dengan Jerman, yang memungkinkan pendudukan Jerman terhadap separuh wilayah utara dari negara tersebut dan memungkinkan pembentukan rezim kolaborasionis di selatan yang berkedudukan di kota Vichy.

Dengan dorongan Jerman, Uni Soviet menduduki negara-negara Baltik pada Juni 1940 dan secara resmi mencaplok negara-negara tersebut pada Agustus 1940. Italia, anggota Poros (negara-negara yang bersekutu dengan Jerman), ikut terjun dalam perang tersebut pada 10 Juni 1940. Dari 10 Juli hingga 31 Oktober 1940, Nazi melancarkan perang udara di Inggris, yang dikenal dengan sebutan Pertempuran Britania (Battle of Britain), namun pada akhirnya kalah.

Setelah mendapatkan wilayah Balkan dengan menginvasi Yugoslavia dan Yunani pada 16 April 1941, Jerman dan sekutunya menginvasi Uni Soviet pada 22 Juni 1941, yang merupakan pelanggaran langsung terhadap Pakta Jerman-Soviet. Pada Juni dan Juli 1941, Jerman juga menduduki negara-negara Baltik. Pemimpin Soviet Joseph Stalin kemudian menjadi seorang pemimpin besar Sekutu di masa perang, yang menentang Jerman Nazi dan sekutu Porosnya. Selama musim panas dan musim gugur tahun 1941, pasukan Jerman merangsek jauh masuk ke dalam Uni Soviet, tapi perlawanan Tentara Merah yang semakin menguat mencegah niat Jerman untuk merebut kota besar Leningrad dan Moskow. Pada 6 Desember 1941, pasukan Soviet melancarkan serangan balasan besar yang menghalau pasukan Jerman selamanya dari pinggiran kota Moskow. Satu hari kemudian, pada 7 Desember 1941, Jepang (salah satu negara dari Blok Poros) mengebom Pearl Harbor, Hawaii. Amerika Serikat serta-merta menyatakan perang terhadap Jepang. Pada 11 Desember, Jerman dan Italia menyatakan perang terhadap Amerika Serikat dan konflik militer tersebut pun semakin meluas.

Pada Mei 1942, Angkatan Udara Kerajaan Inggris menyerang kota Cologne Jerman dengan sekitar seribu pesawat pengebom, dan untuk pertama kalinya penduduk Jerman ikut merasakan perang di negerinya sendiri. Selama tiga tahun berikutnya, angkatan udara Sekutu secara sistematis mengebom pabrik dan kota industri di segenap penjuru Reich, sehingga banyak wilayah perkotaan Jerman yang menjadi puing-puing pada 1945. Di pengujung 1942 dan awal 1943, pasukan Sekutu meraih serangkaian kemenangan militer besar di Afrika Utara. Kegagalan angkatan bersenjata Prancis untuk mencegah pendudukan Sekutu atas Moroko dan Aljazair memicu pendudukan Jerman atas Prancis Vichy kolaborasionis pada 11 November 1942. Unit militer poros di Afrika, pasukan berkekuatan kira-kira 150.000 orang seluruhnya, menyerah pada Mei 1943.

Serdadu Jerman di Uni Soviet selama penyerangan Soviet pada Desember 1943 di front timur. Pasukan Jerman menginvasi wilayah Soviet pada Juni 1941 tapi menghadapi serangan balasan menyusul pertempuran Stalingrad. 16 Dedember 1943.

Di front timur, selama musim panas tahun 1942, Jerman dan sekutu Porosnya memulai kembali serangan mereka di Uni Soviet, dengan tujuan merebut Stalingrad yang berada di tepi Sungai Volga, serta kota Baku dan ladang minyak Kaukasia. Serangan Jerman terhenti di kedua front tersebut pada pengujung musim panas tahun 1942. Pada November, pasukan Soviet melancarkan serangan balik di Stalingrad dan pada 2 Februari 1943, Angkatan Darat Keenam Jerman pun menyerah kepada Soviet. Jerman kembali melancarkan serangan di Kursk pada Juli 1943, pertempuran tank terbesar dalam sejarah, tapi pasukan Soviet mematahkan serangan tersebut dan memegang dominasi militer yang tidak mereka lepaskan lagi selama masa perang.

Pada Juli 1943, Sekutu mendarat di Sisilia dan pada September mendarat di pantai daratan utama Italia. Setelah Dewan Agung Partai Fasis Italia memecat perdana menteri Italia Benito Mussolini (seorang sekutu Hitler), militer Italia mengambil alih kekuasaan dan menegosiasikan penyerahan kalah kepada pasukan Anglo-Amerika pada 8 September. Pasukan Jerman yang ditugaskan di Italia merebut kendali atas separuh wilayah semenanjung tersebut, dan terus melakukan perlawanan. Mussolini, yang telah ditangkap oleh otoritas militer Italia, diselamatkan oleh komando SS Jerman pada September dan membentuk (di bawah pengawasan Jerman) suatu rezim boneka neo-Fasis di Italia utara. Pasukan Jerman terus mempertahankan Italia utara hingga menyerah pada 2 Mei 1945.

Pasukan AS mendarat di Normandia pada Hari-H, mengawali invasi Sekutu atas Prancis untuk membuka front kedua terhadap pasukan Jerman di Eropa. Normandia, Prancis, 6 Juni 1944.

Pada 6 Juni 1944 (D-Day/Hari-H), sebagai bagian dari operasi militer besar-besaran, lebih dari 150.000 serdadu Sekutu mendarat di Prancis, yang dibebaskan pada pengujung Agustus. Pada 11 September 1944, pasukan AS yang pertama memasuki Jerman, satu bulan setelah pasukan Soviet melintasi perbatasan timur. Pada pertengahan Desember Jerman melancarkan serangan balasan di Belgia dan Prancis utara, namun gagal, yang dikenal dengan nama Pertempuran Bulge. Angkatan udara Sekutu menyerang pabrik-pabrik industri Nazi, seperti di kamp Auschwitz (kendati kamar-kamar gas tidak pernah dijadikan sasaran).

Soviet memulai serangan pada 12 Januari 1945, dengan membebaskan Polandia barat dan memaksa Hungaria (sekutu Poros) untuk menyerah. Pada pertengahan Februari 1945, Sekutu mengebom kota Jerman Dresden, sehingga menewaskan kira-kira 35.000 orang sipil. Pasukan Amerika menyeberangi Sungai Rhine pada 7 Maret 1945. Serangan pamungkas Soviet pada 16 April 1945 memungkinkan pasukan Soviet mengepung ibu kota Jerman, Berlin. Saat pasukan Soviet mencoba merangsek masuk ke dalam Kekanseliran Reich, Hitler melakukan bunuh diri pada 30 April 1945. Pada 7 Mei 1945, Jerman menyerah tanpa syarat kepada Sekutu Barat di Reims dan pada 9 Mei kepada Soviet di Berlin. Pada Agustus, perang di Pasifik berakhir segera setelah AS menjatuhkan bom atom di kota Jepang Hiroshima dan Nagasaki, yang menewaskan 120.000 warga sipil. Jepang secara resmi menyerah pada 2 September.

Perang Dunia II berakhir dengan estimasi jumlah kematian 55 juta jiwa di seluruh dunia. Ini merupakan konflik paling besar dan paling merusak dalam sejarah.

Holocaust merupakan penindasan dan pemusnahan sistematis yang didukung oleh negara terhadap kaum Yahudi Eropa oleh Nazi Jerman dan kaki tangannya, antara tahun 1933 hingga 1945. Yahudi merupakan korban utamanya - enam juta orang dibantai. Orang Roma (Gipsi), penderita cacat mental dan fisik serta orang Polandia juga menjadi sasaran pembinasaan atau pembantaian karena ras, etnis, atau kebangsaan mereka. Jutaan orang lainnya, termasuk orang homoseksual, Saksi-saksi Yehuwa, tawanan perang Soviet, dan oposan politik juga mengalami penindasan dan kematian yang menyedihkan di bawah tirani Nazi.

Bayangkan dunia kembali ke masa Perang Dingin, di mana ketegangan antar negara besar begitu terasa. Saat ini, kita berada di titik yang tak jauh berbeda. Persaingan sengit antara Amerika Serikat, Rusia, dan Tiongkok, ditambah konflik regional yang tak kunjung reda, telah membawa kita semakin dekat ke ambang perang dunia ketiga.

Beberapa faktor utama yang membuat Perang Dunia III sulit dihindari:

Rivalitas antara kekuatan besar seperti Amerika Serikat, Rusia, dan Tiongkok menjadi salah satu pemicu utama potensi Perang Dunia III. Ketegangan di Laut Cina Selatan, konflik Ukraina - Rusia, konflik Israel dengan Pelastina, Yaman, Iran serta Libanon  dan persaingan di kawasan Indo-Pasifik adalah contoh nyata bagaimana rivalitas ini dapat memicu konflik global

Konflik regional seperti yang terjadi di Timur Tengah dan Eropa Timur sering kali melibatkan kekuatan besar yang memiliki kepentingan strategis di wilayah tersebut. Misalnya, konflik antara Rusia dan Ukraina yang melibatkan NATO dan Amerika Serikat telah meningkatkan risiko eskalasi menjadi perang global.

Perlombaan senjata, termasuk pengembangan senjata nuklir dan teknologi militer canggih, menambah ketegangan antar negara. Senjata nuklir, meskipun berfungsi sebagai deterensi, juga meningkatkan risiko kesalahan perhitungan yang dapat memicu perang besar.

Ketidakstabilan ekonomi global, termasuk krisis energi dan pangan, dapat memperburuk hubungan antar negara. Negara-negara yang mengalami kesulitan ekonomi mungkin lebih cenderung mengambil tindakan agresif untuk mengamankan sumber daya yang mereka butuhkan.

Beberapa negara mengadopsi kebijakan luar negeri yang agresif untuk memperkuat posisi mereka di panggung internasional. Kebijakan ini sering kali memicu respons defensif dari negara lain, menciptakan siklus ketegangan yang sulit dihentikan.

Meskipun ancaman Perang Dunia III tampak menakutkan, penting bagi komunitas internasional untuk terus berupaya menjaga perdamaian melalui diplomasi dan kerjasama. Kesadaran akan faktor-faktor yang dapat memicu perang global adalah langkah pertama dalam mencegahnya. Indonesia, dengan kebijakan luar negeri yang bebas dan aktif, dapat memainkan peran penting dalam menjaga stabilitas regional dan global.

Informasi Pendaftaran Mahasiswa baru follow IG @infopmbunjani, mau tanya atau ngobrol? DM ya. Terimakasih. informasi ter-update selalu di update disana, sampai jumpa di kampus.

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Perang dunia adalah suatu perang yang berskala besar dan melibatkan sebagian besar negara dunia yang jangkauannya antar benua hingga persekutuan militer. Perang dunia telah menimbulkan banyak kerugian dan perubahan era menuju Globalisasi.

Sampai saat ini telah dan akan terjadi 3 perang dunia:

Namun, sejak Perang Dunia II berakhir, tetap saja ada isu-isu bahwa Perang Dunia III akan terjadi. Seperti yang dikatakan Albert Einstein, "Aku tidak tahu senjata apa yang akan digunakan dalam Perang Dunia III, tetapi Perang Dunia IV akan menggunakan tongkat dan batu."[1][2]

Perang Saudara Spanyol (1936-39)

Jerman dan Italia memberi dukungan kepada para pemberontak Nasionalis yang dipimpin Jenderal Francisco Franco di Spanyol. Uni Soviet mendukung pemerintah yang sudah berdiri, Republik Spanyol, yang memiliki kecenderungan sayap kiri. Baik Jerman dan Uni Soviet memakai perang proksi ini sebagai kesempatan menguji senjata dan taktik baru mereka. Pengeboman Guernica yang disengaja oleh Legiun Condor Jerman pada April 1937 berkontribusi pada kekhawatiran bahwa perang besar selanjutnya akan melibatkan serangan bom teror besar-besaran terhadap warga sipil.[25][26]