Februari 1946: Peristiwa merah putih di bumi Minahasa
Elshinta.com - Tanggal 14 Februari menjadi hari hangat bagi pasangan di seluruh dunia yang merayakan hari kasih sayang, hari valentine. Namun, pada tahun 1946 di tanggal tersebut, rasa sayang terhadap pasangan masih kalah dengan rasa kecintaan terhadap pada Tanah Air. Pada saat itu di Manado, Sulawesi Utara, dalam sebuah peristiwa yang disebut Peristiwa Merah Putih, para pemuda pro-Republik menyerang pasukan Belanda (NICA) yang berusaha menyumbat gaung kemerdekaan di tanah Minahasa. Keberanian warga Minahasa terhadap Belanda dipicu oleh Gubernur Sulawesi, Sam Ratulangi, lewat surat rahasianya. Sam Ratulangi meminta tentara KNIL asal Minahasa yang pro RI segera melakukan aksi militer di tangsi KNIL (Sekarang Markas Pomdam XIII/Merdeka) di Teling, Manado. Surat rahasia itu lalu diserahkan pada politisi setempat Bernard Wilhelm Lapian dan Ch. Ch. Taulu yang merupakan tokoh militer. Sejumlah tentara KNIL yang tergabung dalam Pasukan Pemuda Indonesia (PPI) dan tokoh masyarakat maupun politisi Minahasa yang pro RI langsung merancang perebutan tangsi tentara Belanda tersebut. Peristiwa itu direalisasikan para pejuang pada tanggal 14 Februari 1946 pukul 1 malam. Perjuangan mereka berhasil. Di Tangsi Putih dan Tangsi Hitam, Teling, Manado, para pemuda sukses menawan Residen Coomans de Ruyter dan Komandan NICA Letkol de Vries beserta mereka yang pro-NICA. Selain menawan pihak musuh, mereka juga membebaskan tahanan yang dicurigai pro-RI, antara lain Taulu, Wuisan, Sumanti, G.A. Maengkom, Kusno Dhanupojo, G.E. Duhan. Para pejuang juga berhasil menurunkan bendera Belanda, merobek bagian birunya dan menaikkan kembali warna merah putih ke puncak tiang bendera. Berita mengenai perebutan kekuasaan itu pun dikirim ke pemerintah pusat RI di Yogyakarta disertai maklumat yang ditandatangani oleh Ch. Ch. Taulu. Dua hari setelah pe, pemerintahan "Merah Putih" di Minahasa terbentuk di mana B.W. Lapian ditunjuk sebagai residennya. Sementara itu, Ch. Ch. Taulu, SD. Wuisan, dan J. Kaseger menjadi pemipin satuan lokal Tentara Indonesia. Agar ingatan Peristiwa Merah Putih terus terjaga dibuatlah monumen peringatan di daerah Kawangkoan yang diresmikan pemerintah Provinsi Sulawesi Utara sejak 1987.
Sumber : Elshinta.Com
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Peristiwa Merah Putih di Manado merupakan peristiwa penyerbuan markas militer Belanda yang berada di Teling, Manado pada tanggal 14 Februari 1946. Berbagai himpunan rakyat di Sulawesi Utara, meliputi pasukan KNIL dari kalangan pribumi, barisan pejuang, dan laskar rakyat berusaha merebut kembali kekuasaan atas Manado, Tomohon, dan Minahasa yang ditandai dengan pengibaran bendera merah putih di atas gedung tangsi militer Belanda. Peristiwa tersebut merupakan bentuk perlawanan rakyat Sulawesi Utara untuk mempertahankan kemerdekaannya serta menolak atas provokasi tentara Belanda yang menyatakan bahwa proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 hanya untuk Pulau Sumatera dan Jawa semata.[2]
Berita prokamasi kemerdekaan Indonesia baru terdengar oleh rakyat di Sulawesi Utara pada 21 Agustus 1945. Mereka dengan segera mengibarkan bendera merah putih di setiap area dan menduduki kantor-kantor yang sebelumnya dikuasai oleh tentara Jepang serta melucuti semua senjatanya. Namun kedatangan tentara sekutu bersama NICA pada awal Oktober 1945 di Sulawesi Utara membawa suasana rakyat kembali ricuh. Belanda menginginkan kekuasaan sepenuhnya atas Sulawesi Utara terutama Manado. Namun rakyat Manado menolak dan memilih untuk melawan. Kemudian serangan dari sekutu dan Belanda membuat Manado dan sekitarnya kembali diduduki oleh tentara Belanda.[4]
Letnan Kolonel Charles Choesj Taulu, seorang pemimpin dikalangan militer bersama Sersan S.D. Wuisan menggerakkan pasukannya dan para pejuang rakyat untuk ikut mengambil alih markas pusat militer Belanda. Rencana tersebut telah disusun sejak tanggal 7 Februari 1946 dan mereka mendapatkan bantuan seorang politisi dari kalangan sipil, Bernard Wilhelm Lapian. Puncak penyerbuan terjadi pada tanggal 14 Februari, Namun sebelum penyerbuan terlaksana, para pimpinan pasukan tertangkap oleh tentara Belanda termasuk Charles C Taulu dan S.D. Wuisan.[2] Akibatnya pemberontakan ke tangsi militer Belanda dialihtugaskan kepada komando Mambi Runtukahu yang memimpin anggota KNIL dari orang Minahasa. Bersama rakyat Manado mereka berhasil membebaskan Charlis Choesj Taulu, Wim Tamburian, serta beberapa pimpinan lainnya yang ditawan. Puncak penyerbuan tersebut ditandai dengan perobekan bendera Belanda yang awalnya berwarna merah, putih, dan biru menjadi merah dan putih lalu dikibarkan diatas gedung markas Belanda. Mereka juga berhasil menahan pimpinan pasukan Belanda diantaranya adalah pimpinan tangsi militer Letnan Verwaayen, pemimpin garnisun Manado Kapten Blom, komandan KNIL Sulawesi Utara Letnan Kolonel de Vries, dan seorang residen Coomans de Ruyter beserta seluruh anggota NICA.[6] Namun pengambilalihan kekuasaan Belanda tersebut hanya sementara.[7]
Pada awal Maret kapal perang Belanda Piet Hein tiba di Manado dengan membawa pasukan sekitar satu batalyon. Kedatangan mereka disambut oleh pasukan KNIL yang memihak pada Belanda. Kemudian pada tanggal 11 Maret, para pimpinan gerakan merah putih diundang ke kapal Belanda untuk melakukan perundingan, yang tujuan sebenarnya adalah untuk menahan para pimpinan rakyat Sulawesi Utara. Hal tersebut merupakan siasat tentara Belanda agar dapat melemahkan pejuang rakyat dan mengambil alih kembali wilayah Sulawesi Utara.
Peristiwa merah putih di Manado adalah peristiwa penyerbuan markas militer Belanda di Teling, Manado, Sulawesi Utara. Berikut sejarah peristiwa merah putih di Manado.
Peristiwa merah putih di Manado terjadi pasca kemerdekaan Indonesia yakni pada 14 Februari 1946.
Latar belakang peristiwa merah putih ini terjadi karena provokasi Belanda yang menyebut kemerdekaan Indonesia hanya untuk Pulau Sumatera dan Jawa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Peristiwa merah putih di Manado terjadi pasca kemerdekaan Indonesia. Tentara dan rakyat Manado menyerbu maskas Belanda. (Ilustrasi Foto: Istockphoto/Rawpixel)
Kronologi peristiwa merah putih di Manado berawal dari kabar kemerdekaan Indonesia. Saat itu, masyarakat di Manado baru mengetahui kemerdekaan Indonesia pada 24 Agustus 1945.
Setelah mengetahui bahwa Indonesia telah merdeka, masyarakat Manado bergegas mengibarkan bendera merah putih di berbagai tempat termasuk kantor-kantor bekas penjajah Jepang.
Meski sudah merdeka, Belanda masih ingin menguasai Manado. Pada Oktober 1945, pasukan Belanda atau Netherland Indies Civil Administration (NICA) datang ke Manado.
Saat itu, masyarakat Manado dengan tegas menolak Belanda. Perlawanan rakyat Manado pun dimulai. Suasana di Manado dan sejumlah daerah seperti Tomohon dan Minahasa pun memanas.
Dalam sejarah peristiwa merah putih di Manado, masyarakat Manado berhasil menyerbu markas Belanda danmengibarkan bendera Indonesia. (Foto: mufidpwt/Pixabay)
Puncaknya terjadi pada 14 Februari 1946. Residen Manado Bernard Wilhelm Lapian, Letnan Kolonel Charles Choes Taulu dan Sersan SD Wuisan menggerakkan pasukannya untuk mengambil alih markas militer yang dikuasai Belanda. Rakyat dari kalangan pribumi pun ikut dalam penyerbuan itu.
Mereka pun mengibarkan bendera merah putih di atas gedung tangsi militer Belanda. Rakyat juga tak segan-segan merobek bendera triwarna Belanda menjadi bendera merah putih.
Perebutan tangsi militer Teling dan penurunan bendera triwarna yang diganti bendera merah putih berhasil memukul mundur Belanda dan pasukannya.
Peristiwa berdarah serta bersejarah ini semakin menguatkan kemerdekaan Indonesia. Peristiwa merah putih di Manado ini diberitakan lewat radio. Informasi penyerbuan itu sampai ke radio Australia, London hingga San-Francisco, AS.
Untuk mengenang seluruh jasa para pahlawan dalam insiden merah putih di Manado, didirikan sebuah monumen BW Lapian dan Ch Ch Taulu di Jalan Raya Kawangkoan-Tampaso, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara. Monumen ini diresmikan pada 30 November 1987.
Itulah sejarah peristiwa merah putih di Manado yang berhasil menyerang markas militer Belanda.
Peristiwa merah putih di Manado tidak lepas dari kejadian bersejarah pada bulan Juli tahun 1944 dimana pada waktu itu Jepang mengalami kekalahan telak melawan pasukan Sekutu ketika mereka bertempur di atas lautan Pasifik. Kekalahan mereka ini membuat mereka mundur untuk memperkuat kubu pertahanan mereka di pulau Sulawesi dan di daerah Maluku Utara.
Di bulan yang sama, Sam Ratulangi mengutus pemuda-pemuda untuk pergi ke Manado demi menyambut kemerdekaan yang akan dimiliki oleh Indonesia jika ternyata perang pasifik berakhir dengan hancurnya pasukan Jepang oleh pihak Sekutu.
Utusan yang ia kirim ini beranggotakan Mantik Pakasi dan Freddy Lumanauw sebagai utusan tentara, dan Wim Pangalila, Buce Ompi, serta Olang Sondakh sebagai perwakilan pemuda. Mereka pergi menggunakan kereta ke Surabaya, dan melanjutkan perjalanan menggunakan Dai yu Maru menuju Manado.
Dua bulan setelah perngutusan pemuda oleh Sam Ratulangi menuju Manado, tiba-tiba muncul pesawat pembom B-29 yang merupakan properti perang udara milik Angkatan Udara Sekutu.
Pesawat-pesawat yang berjumlah puluhan itu kemudian menghujani Manado dengan bom, dan meratakannya dengan tanah, mengubah setiap gedung yang terlihat menjadi tak lebih dari gundukan sampah, dan menewaskan banyak penduduk.
Hal ini kemudian memicu kecurigaan Jepang bahwa ada mata-mata Sekutu yang berperan ganda sebagai tokoh nasionalis. Di bulan September 1944 ini juga kubu pertahanan Jepang di Sulawesi Utara dan Morotai berhasil ditaklukkan oleh Jenderal Mac Arthur sebelum ia bertolak ke Leyte, Filipina.
Selama pertengahan tahun April 1945 hingga awal Februari 1946, terjadi lagi banyak konflik atau hal-hal yang menuntun kepada terjadinya peristiwa merah putih di Manado.
Pada bulan April hingga Agustus 1945 misalnya, dimana Pimpinan Kaigun menyiapkan kemerdekaan Indonesia, sesuai dengan apa yang pernah ia janjikan dahulu kala. Pada masa itu, bendera merah-putih dikibarkan bersebelahan dengan bendera nasional Jepang, yaitu Hinomaru.
Pada bulan September di bulan yang sama, NICA dan Belanda yang saat itu ada di bawah perlindungan pasukan Sekutu dengan senang hati masuk ke area Indonesia, dan terlepas dari seluruh usaha yang mereka lakukan, mereka tetap tidak berhasil menciptakan dampak apa pun terhadap kehidupan bermasyarakat, berpolitik, mau pun ekonomi.
Pada bulan terakhir tahun 1945, Manado mulai sedikit lega dengan perginya seluruh pasukan Sekutu dari tanah itu. Perginya Sekutu tidak berarti kedamaian, karena mereka pada akhirnya menyerahkan tugas yang tengah mereka jalani secara total kepada NICA-KNIL yang dipimpin oleh seorang Inggris.
John Rahasia dan Wim Pangalila kemudian melihat hal ini sebagai kesempatan untuk melakukan sebuah revolusi atau pemberontakan yang akan dilakukan oleh pemuda-pemuda Manado.
Di Bulan yang sama, NEFIS-Belanda mulai sedikit lebih pintar, dan mereka sudah bisa mulai mencurigai kedua orang yang akan melakukan pemberontakan ini.
Pada bulan Februari 1946, pasukan KNIL yang ada di Teiling masih dicurigai oleh pihak Belanda. Pihak Belanda juga mengeluarkan perintah strength arrest kepada para pemimpin mereka.
Yaitu Furir Taulu, Wuisan, Frans Lantu, Wim Tamburian, Wangko Sumanti, dan Yan Sambuaga karena mereka dinilai merupakan penghasut tentara Indonesia.
Pada tanggal 14 Februari, barulah peristiwa merah putih di Manado terjadi. Pada saat peristiwa itu dimulai, mereka berhasil memengaruhi pihak Belanda, dan membuat Kopral Mambi Runtukahu yang ditunjuk sebagai pemimpin ahli penyergapan pos yang ada di markas garnisun Manado.
Setelah serangan yang tidak memiliki perlawanan ini selesai, ada beberapa nama kaum nasionalis yang kemudian ditangkap oleh NICA dan dituduh sebagai mata-mata Jepang.
Keberhasilan kudeta yang dilakukan oleh Wuisan dan kawan-kawan tiba di telinga kapten KNIL pada masa itu, yang bernama J Kaseger yang akhirnya ikut berjuang membela Indonesia.
Bagian akhir peristiwa merah putih di Manado terjadi pada tanggal 15 dan 16 Ferbuari, hanya satu hingga dua hari setelah peristiwa ini dimulai.
Pada tanggal 15 Ferbruari 1946, komandan KNIL pada waktu itu yang bernama De Vries tertangkap dan menjadi tawanan, hingga ia dihadapkan kepada Taulu dan Wuisan demi membuat kesepakatan akan perselisihan yang terjadi ini.
De Vries, seperti layaknya pimpinan lain, bertanya apakah kudeta militer yang akan dilakukan oleh pihak Indonesia akan menjamin keselamatan pasukannya.
Pada saat itu, sebenernya Taulu tahu bahwa mereka sedang terdesak dan akan kalah, tapi ia kemudian berkata bahwa mereka sedang berjuang bersama pemuda Indonesia, dan akan mempertahankan perjuangan itu.
Setelah kejadian ini, seluruh daerah Minahasa kemudian mulai melihat prosesi pengibaran bendera Merah-Putih.
Februari 1946: Peristiwa Merah Putih di Manado
Elshinta.com - Peristiwa Merah Putih di Manado merupakan peristiwa penyerbuan markas militer Belanda pada 14 Februari 1946 di Teling, Manado.
Pertempuran ini melibatkan berbagai himpunan rakyat di Sulawesi Utara, seperti pasukan KNIL dari kalangan pribumi, barisan pejuang, dan laskar rakyat.
Peristiwa ini adalah bentuk perlawanan rakyat Sulawesi Utara untuk mempertahankan kemerdekaannya sekaligus penolakan atas provokasi tentara Belanda yang menyatakan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 hanya untuk Pulau Sumatera dan Jawa saja.
Rakyat Sulawesi Utara baru mendengar berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 21 Agustus 1945.
Setelah mengetahuinya, masyarakat Sulawesi Utara mengibarkan Bendera Merah Putih di setiap area.
Selain itu, mereka juga menduduki kantor-kantor yang sebelumnya dikuasai oleh tentara Jepang.
Meskipun begitu, tentara Sekutu dan NICA datang ke Sumatera pada awal Oktober 1945.
Sejak kedatangan para Sekutu, suasana di Sumatera Utara kembali ribuh.
Kendati demikian, rakyat Manado enggan untuk melakukan perlawanan. Hal ini karena Manado berhasil diduduki kembali oleh tentara Sekutu dan NICA.
Melihat situasi ini, Letkol Charles Choesj Taulu bersama Sersan SD Wuisan menggerakan pasukannya untuk mengambil alih markas pusat militer Belanda.
Sejak 7 Februari 1946, rencana perebutan ini sudah disusun, yang dibantu oleh seorang politisi kalangan sipil, Bernar Wilhelm Lapian.
Puncak penyerbuan terjadi pada 14 Februari.
Namun sebelumnya, para pemimpin pasukan, seperti C. Taulu dan Wuisan telah ditangkap terlebih dahulu oleh Belanda.
Pada akhirnya pemberontakan ke tangsi militer Belanda dipindahtugaskan kepada Komando Mambi Runtukahu, pemimpin anggota KNIL dari orang Minahasa.
Bersama dengan rakyat Manado lainnya, mereka berhasil membebaskan C Taulu dan Wuisan serta beberapa pemimpin lain yang tengah ditawan.
Seusai itu, pertempuran kembali berlanjut.
Puncak peristiwa ini ditandai dengan perobekan bendera Benlanda, yang awalnya berwarna merah, putih dan biru menjadi merah dan putih.
Setelah itu, bendera merah putih segera dikibarkan di atas gedung markas Belanda.
Para pimpinan pasukan Belanda juga berhasil ditangkap, di antaranya adalah Letnan Verwaayen, pimpinan tangsi militer dan Kapten Blom, pemimpin garnisun Manado.
Keberhasilan ini telah membuat rakyat Manado berhasil mengambil alih kekuasaan Belanda di sana.
Sayangnya, keberhasilan tersebut tidak berlangsung lama.
Awal Maret, kapal perang Belanda Piet Hein tiba di Manado dengan membawa pasukan sekitar satu batalyon. Kedatangan mereka ini disambut oleh pasukan KNIL yang berada di pihak Belanda.
Kemudian, 11 Maret, para pimpinan gerakan merah putih diundang ke kapal Belanda.
Pada awalnya pertempuran ini adalah mengundang para pemimpin untuk melakukan perundingan. Namun, Belanda memiliki tujuan utama yang ingin menahan para pemimin Sulawesi Utara.
Ajakan Belanda tersebut untuk melemahkan para pejuang rakyat Sulawesi Utara.
Pada akhirnya, Belanda berhasil kembali menguasai wilayah Sulawesi Utara.
Sumber : Elshinta.Com
PADA 7 Februari 1946 seluruh rencana telah rampung sampai pada tindakan-tindakan darutat serta pengamanan bilamana terjadi sesuatu kemacetan. Rencana ini telah pula diberitahukan kepada BW Lapian dalam suatu rapat rahasia yang diadakan pada hari itu di rumahnya di Singkil, Manado Utara. Juga turut dalam perundingan PM Tangkilisan, juga telah dihubungi No Ticoalu dan dr Tumbelaka. Situasi Markas Besar KNIL di Tomohon senantiasa diberitahukan oleh AS Rombot melalui FW Sumanti yang bertindak sebagai ordonans umum.
Pembagian tugas yang ditetapkan oleh Ch Taulu dan SD Wuisan sebagai berikut:
Penangkapan di Kalangan Militer
Pada 28 Januari 1946, Freddy Lumanauw dan Mantik Pakasi dipanggil Komandan Garnisun, Kapten Blom, dan langsung dibawa ke penjara karena ada laporan bahwa mereka sedang mengatur komplot untuk menggulingkan kekuasaan KNIL di tangan Belanda. Pada 31 Januari Lumanauw dan Mantik dibawa di bawah pengawalan MP ke Tomohon dan langsung diperiksa oleh Oditur Militer Mr OE Schravendijck. Pada hari itu mereka dikembalikan ke penjara Manado karena mereka tidak bersedia mengungkapkan sebab dan latarbelakang sehingga mereka mulai berkomplot. Selama dalam tahanan ini mereka diberitahu oleh Frans Korah tentang perkembangan rencana persiapan kup yang diatur oleh Taulu, Wuisan dan Sumanti.
Pada 6 Februari 1946 mereka kembali diperiksa di Tomohon, dimana kepada mereka dinyatakan oleh Oditur Militer bahwa sudah diperoleh bukti yang jelas menunjukkan, bahwa mereka pada 1944 telah dikirim ke Sulut dengan tugas khusus dari Dr Ratulangi yang kini berada di Makassar untuk melaksanakan revolusi kemerdekaan Indonesia. Lumanauw yakin bahwa mata-mata Belanda telah mengikuti pembicaraan dalam perundingan-perundingan rahasia dari pasukan Tubruk dan Schravendijck telah mengadakan pengecekan dengan atasannya di Jakarta. Proses pengusutan ini akan membawa mereka ke sidang mahkamah militer, namun mereka tidak bersedia menuturkan mission yang diberikan oleh Ratulangi pada waktu mereka diberangkatkan dari Jakarta itu.
NICA menjadi gelisah karena setelah gerakan-gerakan pemuda berhasil ditekannya, malah tubuh dan aparatnya sendiri, yakni KNIL, telah disusupi oleh musuh-musuh Republik yang berpemerintahan pusat di Jogyakarta.
Kemudian pribadi-pribadi Taulu dan Wuisan semakin besar mendapat perhatian dan sorotan dari pimpinan KNIL.
Opsir-opsir Belanda telah beberapa kali mengadakan pertemuan antara mereka sendiri, yakni Blom, Verwaayen, De Leeuw, Molenburgh, Brouwers dan lain-lain untuk menemukan jalan, cara bagaimana mereka dapat menumpas gerakan-gerakan bawah tanah dalam tubuh KNIL, supaya tidak menjalar ke seluruh jajaran KNIL. Mereka semakin bingung, karena setelah penangkapan pemuda-pemuda pada 9 Januari lalu dan kemudian pada 28 Januari Lumanauw dan Pakasi diamankan di penjara, sebenarnya sudah tidak ada lagi anasir-anasir Republik yang mereka harus takuti.
Pada 9 Februari pimpinan KNIL mengambil tindakan pengamanan di kompleks tentara Teling dengan menangkap anggota komplotan Wangko Sumanti, Frans Lantu, Yan Sambuaga dan Wim Tamburian. Mereka ini dikunci dalam sel Tangsi Putih. Bukti kegiatan mereka, termasuk menghubungi pemuda-pemuda ekstremis dan pejabat-pejabat tertentu yang dicurigai, sudah cukup jelas bagi NICA setelah dicek dengan laporan-laporan yang masuk.
Taulu dan Wuisan Masuk Sel
Namun, keadaan menjadi makin tegang. Pada 13 Februari, jam 9 pagi, Furir Taulu dipanggil komandan Kapten Blom dan setelah senjatanya dilucuti oleh sersan-mayor Brouwers, maka ia dimasukkan dalam sel tahanan.
Tidak berapa lama Sersan Bisman dipanggil oleh Kapten Blom, tetapi ia tidak ditahan, mungkin karena ia memiliki tanda jasa dari Tentara Sekutu. Bisman dalam Perang Dunia ke-2 mendapat latihan intelejen di Australia dan sering turut dalam kapal selam Sekutu untuk dilepaskan di perairan daerah musuh untuk mencari tahu kekuatan tentara Jepang, seperti yang dilakukannya di Tarakan dan di Manado pada 1944.
Selanjutnya Komandan Kompi VII, Carlier, dipanggil oleh Komandan Korps, Kapten Blom, yang menanyakan kepadanya bagaimana dengan keadaan Kompi VII. Dijawab oleh Letnan Carlier bahwa Kompi VII dapat mengamankan seluruh Sulut, karena prajurit-prajuritnya banyak berpengalaman dalam perang yang baru lampau, lagipula kompi ini adalah pemberani, namun patuh dan setia pada atasannya.
Mambi Runtukahu Memelopori Aksi
Yang memelopori aksi adalah Peleton I: Mambi Runtukahu, Wkl Kmd Regu I, Gerson Andris, Wkl Kmd Regu II, Mas Sitam, Wkl Kmd Regu III, Yus Kotambunan, Kmd Verkenner, Lengkong Item, Angg regu IV dan Wehantouw Verkenner.
Di penjara Manado para tahanan nasionalis pada tengah malam itu dengan hati berdebar-debar menunggu saat dimulaikan aksi di Teling. Karena mereka juga telah diberitahu tentang saat dan awal aksi ini sebelumnya melalui titipan surat yang disembunyikan dalam makanan. Mereka amat cemas dan hampir saja putus asa ketika mendengar bahwa unsur-unsur pimpinan pemberontakan sudah tertangkap.
Ketegangan memuncak ketika pintu besi dari penjara berbunyi gemerincing: Apakah aksi telah gagal dan Belanda akan memperkeras tindakan-tindakan penekanan? Demikianlah Lumanauw dan Pakasi bertanya-tanya. Melalui trali-trali sel tampaklah pada mereka bukanlah Polisi Militer (PM) yang muncul melainkan kawan-kawan Frans Lantu dan Yus Kotambunan. Mereka memasuki halaman penjara dengan menyandang beberapa perlengkapan senjata serta didampingi oleh sipir yang membawa kunci-kunci. Semuanya lalu bersorak-sorak gembira. Lumanauw dan Pakasi diberikan masing-masing senapan dan pistol, karena mereka harus melanjutkan tugas untuk menyelesaikan aksi kup itu yang tengah berjalan dan masih berbentuk tanda tanya.
Kaum nasionalis yang selama ini meringkuk dalam tahanan semuanya dibebaskan. Tampak di antara mereka tokoh-tokoh perintis nasional seperti GE Dauhan, A Manoppo, OH Pantouw, Max Tumbel, Dr Sabu, FH Kumontoy, CP Harmanses, HC Mantiri, NP Somba dan juga pemimpin-pemimpin pemuda BPNI, John Rahasia dan Mat Canon.
Komandan Garnisun Manado, Kapten Blom, yang berdiam di Sario dibangunkan oleh ajudannya dengan kata-kata: ‘’Kapten diminta datang segera ke Teling karena keadaan agak berbahaya. Letnan Verwaayen mendesak agar segera datang!’’ Juga ditegaskan oleh ajudannya, bahwa para pengawal sudah siap menunggu di luar dengan sebuah jeep, bahwa perjalanan aman dan penjagaan cukup kuat.
Pada subuh hari semua tentara Belanda dimasukkan dalam tahanan di Teling dan selebihnya dibawa ke penjara untuk menggantikan para tahanan nasionalis yang telah dibebaskan.
Sang Saka Merah Putih Berkibar
Pada jam 03.00 di markas tentara di bukit Teling, sewaktu aksi penangkapan sedang berjalan, maka Wangko Sumanti yang memberikan perintah, mengambil bendera Belanda (merah-putih-biru) yang disimpan di rumah jaga, merobek helai birunya dan menyerahkan bagian dwi-warna kepada Mambi Runtukahu yang sudah siap sebagai inspektur upacara menunggu dekat tiang bendera. Secara hikmat bendera Merah Putih digerek oleh Kotambunan dan Sitam untuk kemudian berkibar pada saat fajar menyingsing di bumi Sulut.
Ternyata pasukan-pasukan KNIL yang ada di Tomohon dan Girian masih dikuasai oleh perwira-perwira Belanda dan perlu mendapat penyelesaian dari Manado. Perintah dan persiapan dilakukan oleh Wangko Sumanti untuk meneruskan aksi kup ini di Tomohon dan Girian.
Tomohon Diserbu: Korban di Kedua Belah Pihak
Segera Frans Bisman dan Freddy Lumanauw ditugaskan dengan dua peleton siap tempur untuk menuju Tomohon. Pada jam 04.30 14 Februari mereka berangkat dengan empat kendaraan, yaitu 2 jeep dan 2 truck/power. Jeep depan berbendera Merah-Putih dikendarai oleh Frans Bisman dengan beberapa pengawal penembak bren, menyusul jeep kedua dengan perlengkapan dan pengawalan yang sama; yang ditempati oleh Freddy Lumanauw. Di luar Kota Manado konvoi ini sedikit mengalami hambatan karena jeep terdepan terjerumus dalam selokan, sehingga agak memakan waktu untuk menariknya, namun tak ada kerusakan apa-apa.
Gelaerts, demikian nama sersan Belanda itu, berada di Manado waktu terjadi kup tengah malam dan ia langsung mengendarai motornya ke Tomohon untuk memberitahukan kejadian ini kepada Komandan De Vries setelah hubungan telepon terputus.
Sewaktu mau kembali ke Manado pagi itu dan berada di pompa bensin untuk mengisi minyak ia berpapasan dengan pasukan penyerbu dari Bisman.
Ultimatum Kepada Komandan KNIL
Komandan Polisi Samsuri yang menjadi penghubung antara Pasukan Bisman dan Komandan KNIL De Vries, membawa ultimatum dari Bisman agar De Vries dengan seluruh pasukan-pasukannya di Tomohon ialah Kompi-142 dan satu kompi stafnya menyerahkan diri. Dengan dua tangannya diangkat ke atas, Samsuri menempuh jarak duaratus meter lebih menuju ke Markas De Vries, di mana komandan ini sudah siap dengan stellingnya.
Samsuri menjelaskan kepada De Vries bahwa pasukan dari Manado telah tiba di persimpangan jalan di depan kantor polisi Tomohon dan meminta Overste De Vries bersama pasukannya di Tomohon menyerahkan diri.
Samsuri kembali untuk menyampaikan jawaban ini dan untuk kedua kalinya Bisman memerintahkan Samsuri untuk memberitahukan De Vries bahwa pasukan dari Manado akan segera mengadakan serangan.
Mendengar akan ultimatum terakhir ini maka De Vries memutuskan dan menyampaikan kepada Samsuri bahwa ia akan menyerahkan diri bersama pasukan-pasukan di Tomohon, termasuk para penguasa sipil NICA kepada pasukan Bisman.
Kup Berhasil dan Penguasa-penguasa Belanda Tertawan
Upacara penyerahan berlangsung dengan pelbagai campuran perasaan bagi kedua pihak masing-masing. Komandan KNIL itu terharu dan bercucuran air mata ketika bendera merah-putih-biru disobek helai birunya dan dwi-warna Merah-Putih dinaikkan pada tiangnya. Atas permintaan Bisman maka De Vries menuju ke kendaraan yang tersedia dan bersama-sama mereka menuju ke kantor polisi untuk meneruskan perjalanan ke Manado.
Residen Coomans de Ruyter, Komandan NICA, diambil dari tempat kediamannya di rumah sakit RK Gunung Maria, begitu anggota-anggota Staf NICA lainnya yang berada di Kaaten-Tomohon dikumpulkan di kantor polisi dan dengan sebuah truk mereka langsung dibawa ke tempat penampungan di Manado.
Suatu pasukan kecil di bawah pimpinan Freddy Lumanauw masih harus meneruskan tugas operasi ke pedalaman Minahasa. Pengemudinya Oscar Pandeiroth menggantikan Alo Porayouw yang telah gugur sebagai seorang pahlawan kemerdekaan dan menjadi pahlawan 14 Februari 1946 yang pertama.
Suatu peristiwa yang menegangkan yang diceritakan Freddy Lumanauw kemudian, ialah ketika dalam persiapan untuk menyerbu markas De Vries, kedapatan olehnya bahwa peluru-peluru yang dibawa pasukan tidak cocok dengan senjata Lee Enfield, karena buatan Jepang. Wangko Sumanti di Teling Manado segera dihubungi melalui telepon dan ternyata memang ada kekeliruan dan diakui Sumanti sebagai keteledoran akibat kesibukan pada waktu pasukan disiapkan di malam buta untuk dikirim ke Tomohon. Seandainya ada terjadi penyerbuan dan pertempuran maka senapan-senapan yang dibawa akan tidak berdaya dan tidak ada gunanya.
Pengamanan di kota-kota kecamatan di Minahasa disertai dengan penurunan bendera Belanda dan diganti dengan penaikan bendera Merah-Putih, berlangsung di instansi-instansi pemerintah dan polisi setempat di bawah pimpinan Freddy Lumanauw. Berturut-turut di Tondano, Remboken, Kakas, Langowan dan Kawangkoan, selesai upacara bendera dilakukan penertiban seperlunya di kalangan pamong-praja dengan mendapat bantuan penuh dari pasukan-pasukan pemuda.
Penyelesaian di Kamp Tawanan Jepang
Pada subuh 14 Februari 1945, juga suatu pasukan dari Manado di bawah pimpinan Maurits Rotinsulu yang ditugaskan ke Girian untuk menguasai kamp tawanan Jepang, berhasil menangkap anggota-anggota tentara Belanda di asrama Girian dengan bantuan Samel Kumaunang dan Hans Lengkoan, namun komandan kampemen tawanan yang bermarkas di Wangurer, Letnan Van Emden, bertahan dan tetap menguasai seluruh kamp tawanan itu. Perwira ini tidak mengakui penyerahan pimpinan KNIL kepada pihak pemberontak, sedangkan ia adalah komandan dari Sekutu. Malah ia sempat menahan seorang anggota pasukan Rotinsulu yang bernama Makalew.
Setelah kegagalan ini dilaporkan kepada Taulu, maka Taulu bersama Sumanti pergi ke Sario untuk meminta perintah tertulis dari Kapten Blom buat Van Emden, agar ia segera menyerahkan diri kepada pasukan Sumanti yang akan dikirim ke Girian.
Bert Sigarlaki yang adalah ordonans tetap untuk Van Emden diterima untuk masuk ke dalam kampemen dan menemui Van Emden. Setelah surat dari Blom dibacanya, maka surat itu diludahinya dengan melemparkan kata-kata kotor kepada alamat Blom seraya menyentak bahwa semua mereka sebangsa di Manado adalah pengecut dan bukan militer.
Kumaunang dan Lengkoan yang menguasai asrama tentara di Girian memikirkan suatu siasat lain untuk menangkap Van Emden, yaitu menunggu saatnya mereka berdua memegang pos di kamp tawanan di lokasi Wangurer.
Begitulah pada 17 Februari 1946 pada jam 06.00 pagi kedua pejuang ini masuk dalam kelompok jaga, seluruhnya terdiri dari 8 orang. Mereka ini sepakat untuk menunjuk Samel Kumaunang yang akan menangkap Van Emden, mengingat tubuhnya yang besar dan kekar akan dapat menguasai perwira Belanda itu, bila terpaksa harus adu kekuatan.
Tidak lama kemudian muncul komandan itu dengan jeepnya, lengkap dengan senjata dua pistos pada masing-masing pinggangnya dan satu stegun yang disandang. Waktu ia turun dari kendaraannya menuju ke pos, Kumauang berseru: ‘‘Komandan, Green bizonderheden!’’ (tidak kurang apa-apa dalam penjagaan), namun disambungnya lagi: ‘’Letnan, kenapa kami tidak dapat jatah rokok dari Manado, apakah saya boleh merokok?’’ ‘’Oh, tentu saja’’, jawab Van Emden, dan tangannya sibuk memeriksa dan mengeluarkan sebungkus rokok dari sakunya. Ketika ia menyampaikan sebatang rokok sambil menyiapkan apinya kepada Kumaunang, maka secepat kilat tangan letnan yang diulurkan itu ditarik dengan sekuat-kuatnya, badannya condong jatuh ke depan dan setelah tangannya itu diputar, stegun jatuh ke tanah dan kedua pistolnya dapat dilucut oleh Kumaunang. Pada saat itu kawan-kawan lain menyergap perwira itu, mengikat kedua tangan kakinya dan menyeretnya ke dalam jeep. Ia dibiarkan dalam keadaan terikat dan di bawah pengawasan, sampai seluruh kampemen tawanan dan penjagaan telah ditertibkan dan dapat berjalan normal kembali, kini di bawah kekuasaan Tentara Nasional Indonesia.
Para anggota tentara Belanda lainnya sudah lebih dahulu diangkut secara terpisah dari komandan kampemen dengan adanya berita: ‘’Perintah dari korps komandan supaya para perwira dan perwira bawahan harus segera berkumpul di Manado tanpa membawa senjata’’.
Kemudian rombongan yang dipimpin oleh Kumaunang mengantar Van Emden ke Manado, disusuli rombongan dari Sumanti yang ditugaskan oleh Taulu dengan maksud yang sama.
Di sepanjang jalan rakyat menyambut kemenangan ini dengan sorak-sorakan ‘’Hidup Merah Putih’’. Dalam kup selama beberapa hari ini semua warga Belanda dari KNIL maupun dari NICA berhasil ditawan. Seorang pengusaha perkebunan Belanda, Van Loon, yang coba melarikan diri dengan perahu kecil ke Ternate, terpaksa harus kembali di pantai Likupang dan ia langsung menyerahkan diri.